DAFTAR ISI

PANGAPORA

PANDHAPA

Mendidik Pendidikan Kita : Mohammad Suhaidi RB

ARTIKEL TAMU

Pendidikan Pembebasan: Usaha Membangun Masyarakat Beradab : Hodri Ariev

ARTIKEL UTAMA

1- Kebijakan Desentralisasi Pendidikan Dalam Otonomi Daerah :Iskandar Dzulkarnain, S.Th.I, M.Si

2- Merancang Format Pendidikan Di Sumenep: Antara Pemberdayaan SDM dan Soliditas Alumni: A. Naufal Ramzy

3- Menuju Pendidikan Sumenep Berbasis Rasionalitas, Spritualitas dan Profesionalitas: A. Ruhan S.Ag

4- Strategi Pendidikan Masa Depan Sumenep: Menggagas Paradigma Pendidikan Globalisasi Religius Islami: Rusdi, A.Md

WAWANCARA

Drs. KH. Kamalil Ersyad & Dr. Ida Ekawati: SDM Lemah, Inovasi Pendidikan Lambat & Pendidikan Harus Lebih Merata

ARTIKEL LEPAS

1- Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Dalam Pendidikan Islam : Jamilah, M.Ag

2- Membumikan Nilai Budaya Lokal Melalui Pembelajaran Sekolah : Imam Suhairi

3- Memimpikan Masa Depan Pendidikan Lebih Cerah: Kembali Pada Kefitrian Nilai: Ahmad Zaini

4-Pendidikan Di Ujung Tanduk Kekuasaan: Moh. Yamin

KOLOM

1- Pendidikan, Kemiskinan Dan Penganggurani : Mudda’i, S.Pd.I

2- Pendidikan Tidak Kenal Bulu : Mohammad Muslim

RESENSI

Mendesain Kualitas Pembelajaran Di Sekolah : Fathor Rachman Utsman

 

 

PANGAPORA

Pembaca yang budiman,
Setelah agenda penerbitan EDUKASI sempat molor beberapa waktu, kini jurnal pendidikan dan kebudayaan ini terbit kembali. Selama rentang masa vakum itu, muncul banyak pertanyaan ke (awak) meja redaksi menyangkut penerbitan ini.
Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini, di satu sisi, membuat kami tidak nyaman karena seolah-olah menjadi pertanda tidak istiqamah terhadap komitmen penerbitan. Namun, di sisi lain, menjadi suatu hal yang menggembirakan jika kami menganggapnya sebagai sebuah tanda, betapa tingginya minat dan apresiasi pembaca jurnal ini. Terbukti, semakin hari, naskah yang mengalir ke meja redaksi semakin banyak.
Pada edisi kali ini (“Menggagas Grand Design Pendidikan di Sumenep”), EDUKASI mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain adalah sedikit berkurangnya jumlah tulisan. Hal itu jugalah yang menyebabkan berkurangnya jumlah halaman. Seiring dengan persiapan dana yang tidak sampai ke batas yang kami inginkan bersama seperti pada masa-masa sebelumnya, setelah melakukan beberapa kali rapat, redaksi juga membuat keputusan untuk mengurangi oplag penerbitan.
Pemangkasan-pemangkasan seperti dijelaskan di muka semoga tidak menjadi langkah yang “tidak dapat dimaafkan” karena EDUKASI sendiri bukanlah jurnal profit yang dananya dapat diperoleh dan dikelola secara mandiri. Dan dengan pertimbangan jumlah tulisan yang terus bertambah dari edisi ke edisi, kami berharap dapat menyajikan EDUKASI menjadi lebih baik di masa-masa yang akan datang.
Selamat membaca.

 

 

 Back To Daftar Isi

PANDHAPA

Mendidik Pendidikan Kita

Oleh. Mohammad Suhaidi RB

Pendidikan tetap menjadi problem serius dengan tampilan hasil yang membingungkan. Demikian besar anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan ternyata hanya menciptakan sederet pengangguran yang semakin membebani. Wow! Untuk menjadi orang cemas, bingung dan lemah kok harus dengan biaya mahal. Sebuah logika yang patut direnungi
(Sujono Samba, 2007 : 23)

Ungkapan di atas mungkin hanyalah bagian kecil dari sekian kritik atas nasib pendidikan kita saat ini yang mungkin saja memang masih semraut dan tidak jelas arah, apalagi out putnya, padahal anggaran yang – konon – disiapkan untuk meningkatkan mutu dan prestasi pendidikan sangat besar sampai mencapai 20%. Sementara, kondisi pendidikan, tetap saja tidak sesuai dengan harapan : pendidikan masih belum mampu menjawab PR besar masyarakat. Anggaran sangat besar, tapi hasilnya tidak sesuai dengan besarnya anggaran. Aneh kan?
Berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan pendidikan kita, mulai sistem, kebijakan dan pelaksanaan serta terbentuknya nalar baru ijazah oriented merupakan kenyataan kelam tentang pendidikan dan masa depan bangsa ini. Ketidakpercayaan terhadap gerakan pendidikan yang bernama sekolah (SD, SMP dan PT), kian menggurita menjadi keyakinan bersama bangsa kita, karena sekolah dalam prakteknya tidak lebih hanya dijadikan sebagai stempel pemberdayaan, namun sebenarnya tidak pernah memberdayakan.
Pendidikan dengan demikian hanya menjadi kegiatan seremonial, karena target dan tujuan ideal pendidikan yang seharusnya diwujudkan, masih jauh panggang dari api. Terlebih lagi, pendidikan disinyalir tidak lagi mampu menjadi institusi pendidikan yang bisa mencerahkan dan tidak bisa menjadi tempat penanaman nilai-nilai kemanusiaan.
Akibatnya, pendidikan kita benar-benar berada di ujung tanduk kematian dan hanya sekedar “ada”, namun belum mampu menjawab dari sekian problem yang dihasilkan akibat pendidikan itu sendiri. Karena ternyata sistem persekolahan di negeri ini baru bisa menghasilkan “orang-orang lemah”. Ciri-ciri orang lemah di antaranya ; rendah daya inisiatif dan kreatifitasnya, rendah rasa percaya diri, tidak berdaya, dan pada ujungnya tidak sanggup mandiri. Orang lemah selalu ingin mencari “yang kuat” untuk menggantungkan hidupnya. “Yang kuat” ini, bisa orang, perusahaan, bahkan negara (Sujono Samba, 2007 : 21)
Kondisi yang demikian, telah memunculkan asumsi tentang gagalnya proses pendidikan yang dilakukan. Spirit dasar pendidikan untuk membebaskan kemanusiaan guna menemukan jati dirinya sebagai manusia-manusia yang memiliki prinsip kokoh “ tidak mau lemah” apalagi “mau dilemahkan” belum menjadi bagian di dalam proses pendidikan. Akibatnya, apa yang pernah disampaikan oleh Paulo Friere bahwa sekolah itu menindas dan membelenggu, menemukan titik kebenarannya. Karena manusia lemah yang dihasilkan akibat sistem pendidikan yang dilakukan, belum mampu memberikan arah baru sebagai manusia-manusia yang terbebaskan. Itulah belenggu dan penindasan sejati oleh pendidikan yang patut disesali. Yakni, pendidikan tidak mampu memberikan yang terbaik untuk membantu manusia keluar dari jebakan ketidakberdayaannya melalui spirit pembebasan. Sebab, seperti yang tulis oleh Sujono Samba, kalau sekolah hanya melahirkan orang-orang lemah yang selalu ingin bergantung dan tidak sanggup mandiri, dengan logika sederhana, tidak mungkin ada orang, perusahaan bahkan negara sekalipun mampu menampungnya. Oleh karena itu, fenomena menumpuknya pengangguran kaum terpelajar adalah sebuah konsekwensi logis yang memang harus terjadi
Setidaknya data pengangguran dari tahun ke tahun yang dihasilkan oleh dunia sekolah kita memberikan gambaran utuh tentang gagalnya sistem sekolah yang dimiliki oleh negeri ini. Pada tahun 2006, pengangguran mencapai 11.5 – 11,6 persen, tahun 2004, pengangguran sekitar 9,8 persen dan tahun 2005 berkisar 10,3 persen.(hlam. 15). Masyaallah! Begitu hebatnya kegagalan dunia pendidikan kita. Begitu memilukannya masa depan pendidikan kita. Sampai kapan pendidikan bisa menjadi tempat pendidikan sejati yang tidak hanya sekedar mengajar, transfer ilmu, menambah fasilitas, tetapi juga dapat mendidik? Karena selama pendidikan hanya dikelola dengan cara pandang menghabiskan anggaran, sampai kapanpun pendidikan tidak akan dapat menjawab PR besar masyarakat.
Dalam konteks ini, yang harus dilakukan dalam menata kembali pendidikan kita adalah dengan cara mendidik pendidikan dengan cara pandang yang tepat, yaitu menjadikan pendidikan sebagai tempat pemberdayaan : berdaya hati nurani, berdaya pemikiran dan berdaya dalam menjalani kehidupan. Artinya, pendidikan ke depan harus ditempatkan sebagai wahana pencerahan untuk membentuk karakter masyarakat yang mandiri dan memiliki komitmen moralitas yang sangat tinggi, sehingga pendidikan tidak akan melahirkan manusia-menusia pengangguran dan manusia-manusia yang tidak memiliki keberdayaan hidup, karena orientasi hidup yang bingung menghadapi hidup.
Semua ini terjadi karena sistem dan orientasi persekolahan yang dimiliki bangsa kita belum bisa digerakkan di atas landasan untuk membebaskan kemanusiaan bangsa kita. Yakni melahirkan manusia-manusia yang memiliki kemerdekaan diri dalam mencipta, berkreasi dan mengembangkan potensi kemanusiaan, sehinga tidak heran kalau sekolah hanya melahirkan manusia-manusia nganggur yang kebingungan menghadapi masa depan. Oleh karena itu, kita semua harus menjadikan masalah ini sebagai masalah bersama untuk dicarikan solusi baiknya, sehingga problem pendidikan akan bisa teratasi, untuk menuju bangsa yang terbebaskan, salah satu sarananya adalah menciptakan pendidikan yang siap menciptakan pembebasan itu sendiri.

 

  Back To Daftar Isi

ARTIKEL TAMU

PENDIDIKAN PEMBEBASAN:

Usaha Membangun Masyarakat Beradab

Oleh. Hodri Ariev

(Penulis adalah staf pengajar STIK Annuqayah untuk materi kuliah Studi Naskah Bahasa Arab dan Bahasa Inggris; Masih tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; kegiatan lainnya sebagai Indonesia Programs Director of LibForAll Foundation)

Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. telah mengharuskan para tahanan perang Badr yang tidak ditebus oleh keluarganya untuk mengajar baca-tulis kepada umat Islam sebagai syarat pembebasan mereka. Sepintas, perintah Nabi ini tampak sebagai barter murni. Namun pesan tegas yang integral dalam syarat pembebasan tersebut menyatakan bahwa proses pendidikan adalah proses pembebasan. Pembebasan para tahanan perang dengan mengajar baca-tulis, dan pembebasan umat Islam yang buta huruf dari kebodohan. Dengan demikian, kebebasan dan pembebasan merupakan tidak bisa dipisahkan dari aktivitas pendidikan. Bahkan bisa dikemukakan, pendidikan yang tidak membebasakan hanya merupakan proses transfer informasi yang tidak mampu menumbuhkan efek positif kepada perserta didik.
Penting disadari sejak dini bahwa kebebasan (liberty, freedom) kerap dipandang sebagai ancaman dan menjadi sesuatu yang dikhawatirkan, ditakuti, dan bahkan dibenci. Dalam konteks demikian, pandangan bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan tampak menjadi tidak produktif (counterproductive). Maka, sebelum mendiskusikan poin-poin penting yang harus terpenuhi dalam proses pendidikan pembebasan, paper ini akan menganalisis eksistensi dan validitas kebebasan sebagai syarat utama pendidikan. Akhirnya, paper ini akan lebih fokus pada usaha mewujudkan pendidikan yang sehat, dewasa, dan membebaskan untuk mencapai tujuan luhur pendidikan secara spesifik untuk wilayah Kabupaten Sumenep.

***

Pada hakikatnya, kebebasan adalah prasyarat bagi terwujudnya rasa tanggung jawab yang merupakan salah satu tujuan pendidikan. Tanpa kebebasan, siapa pun tidak bisa dituntut bertanggung jawab atas apa pun yang dilakukan. Dalam konteks ini, kebebasan dipahami sebagai kondisi antagonis terhadap paksaan, kondisi tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Bahkan, kebebasan beragama pun ditegaskan secara eksplisit di dalam al-Qur’ân walaupun dengan klausul negatif. Hal ini tak bisa dilepaskan dari eksistensi kebebasan sebagai prasyarat tuntutan tanggung jawab.
Kebutuhan pada kebebasan merupakan hasrat naluriah manusia. Tanpa kebebasan, daya kreasi dan inovasi masyarakat manusia tidak akan berkembang. Pada gilirannya hal ini akan menghambat kemajuan dan kesejahteraan, baik kemajuan dalam bidang spiritual, intelektual, maupun finansial. Ringkasnya, kebebasan merupakan salah satu potensi luar biasa bagi kemajuan dan kesejahteraan. Namun demikian, penting untuk segera ditekankan bahwa kebebasan hanyalah salah satu dari dua sisi sebuah koin untuk kemajuan dan kesejahteraan. Sisi lainnya adalah aturan hukum dan penegakannya secara adil, tegas, bijaksana, dan penuh perasaan. Tanpa aturan hukum, kebebasan akan potensial berubah menjadi keliaran. Jika kebebasan merupakan keleluasaan dalam tradisi masyarakat manusia, maka keliaran adalah keleluasaan dalam masyarakat binatang. Secara dialektis bisa dikatakan bahwa pengabaian hukum berarti langkah menjauhi tradisi masyarakat manusia.
Ketakutan intrinsik pada kebebasan sebenarnya mencerminkan ketakutan pada keliaran, ketakutan pada kebinatangan yang merupakan realitas integral dalam diri setiap orang. Bagi individu yang pesimis, rasa takut ini akan tumbuh membesar dan menjadi alasan kuat untuk menolak kebebasan dalam bentuk apa pun. Tapi bagi individu yang optimis, rasa takut ini bisa menjadi potensi kreatif untuk senantiasa mencegah keliaran dan sekaligus berusaha mewujudkan dan haus pada kebebasan.
Bagi masyarakat yang belum atau bahkan tidak punya pengalaman bagus dalam hal penegakan aturan hukum, rasa takut pada kebebasan akan sangat kuat. Apalagi bagi masyarakat yang punya pengalaman buruk dalam penegakan hukum, masyarakat yang aturan hukumnya bisa diatur-atur dan/atau tidak teratur, masyarakat yang praktik peradilannya tidak adil, kebebasan justru akan dilihat benar-benar sebagai ancaman. Tapi bagi masyarakat dengan pengalaman penegakan hukum yang baik (tegas namun bijak dan penuh perasaan), kebebasan bukanlah sesuatu yang menakutkan, bahkan akan dirindukan, karena mereka sadar kebebasan akan memberi ruang yang lebih leluasa untuk berkreasi, melakukan inovasi, dan untuk perbaikan sosial maupun individual.
Dengan kebebasan, kompetisi bisa berlangsung secara fair sehingga akan terjadi seleksi alamiah atas berbagai kompetisi sosial maupun individual di dalamnya. Pasar bebas dalam bidang bisnis akan memungkinkan penawaran beragam komoditas dan seleksi akan berlangsung berdasarkan kualitas dan harga. Pasar bebas gagasan akan menjadi ajang koreksi melalui munculnya tesis dan antitesis. Pasar bebas politik akan melahirkan pemimpin dengan kemampuan, legitimasi, dan akseptabilitas yang kuat. Pasar bebas berkeyakinan dan beragama akan melahirkan para penganut agama dengan keyakinannya yang teruji dan bertanggungjawab. Tanpa kebebasan, maka komoditas, gagasan, kepemimpinan, keyakinan dan keberagamaan hanya akan bersifat artifisial dengan kualitas yang tidak teruji sehingga tidak mungkin dan tidak bisa diandalkan.
Dalam konteks ketika kebebasan harus bersanding dengan penegakan hukum inilah bahwa pendidikan menemukan perannya yang sangat vital. Pendidikan harus mampu menumbuhkan kesadaran bahwa ada perbedaan yang harus diterima, bahwa kita harus siap hidup berdampingan dalam keragaman, bahwa keragaman tidak mungkin diseragamkan. Ringkasnya, menerima pluralisme dan bersikap toleran di dalamnya haruslah ditanamkan. Sikap demikian akan mampi mewujudkan masyarakat yang beradab dan sejahtera. Suatu masarakat dengan kecenderungan spiritual dan religius yang kuat; masyarakat yang sadar hukum, toleran, dan menghargai perbedaan; masyarakat yang mandiri, kreatif, inovatif, dan responsif; masyarakat yang menghargai tradisi lokal, menghargai warisan khazanah leluhurnya, dan mampu mengadopsi hal-hal baru secara kritis dan kreatif demi kemaslahatan sosial.

***

Untuk membantu memahami eksistensi dan realitas peran pendidikan, setidaknya ada tiga madzhab pemikiran yang bisa digunakan. Pertama, madzhab manfaat (functionalism). Madzhab ini meyakini bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk mewujudkan, melestarikan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Karena itu, menurut madzhab ini, generasi muda harus didorong untuk beradaptasi dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan segala institusi sosial masyarakatnya.
Kedua, madzhab teori konflik (conflict theory). Madzhab ini melihat pendidikan sebagai proses yang didukung dan digunakan oleh para penguasa untuk mempertahankan dominasinya. Penguasa dalam hal ini tidak hanya berarti penguasa politik atau pemerintahan, ia juga berarti siapa pun yang mengedalikan dan/atau mengontrol sebuah institusi, mengonrol dan/atau mengendalkan orang-orang. Madzhab ini melihat pendidikan sebagai media yang kerap digunakan penguasa untuk melestarikan dominasinya dengan beragam cara, termasuk pemasungan intelektual, pendangkalan pengetahuan, serta penyeragaman.
Ketiga, madzhab pendekatan pemahaman (the interpretivism approach). Madzhab ini melihat pendidikan sebagai proses yang mendorong masyarakat untuk memahami, berbagi, dan menafsirkan seperangkat makna-makna, aturan-aturan, dan norma-norma yang memungkin terwujudnya interaksi sosial yang sehat dan dewasa. Sepintas ini tampak seperti proses transfer makna, pengetahuan, dan gagasan. Namun di balik itu semua, madzhab ini melihat adanya proses kontestasi makna-makna (contested meanings) yang di dalamnya pergumulan gagasan berlangsung dan akhirnya akan mempengaruhi, mengarahkan, dan mengendalikan perilaku sosial setiap individu. Dalam kontetsasi gagasan ini nilai-nilai dikoreksi, direvisi, dan dieksekusi. Benar dan salah, baik dan buruk, bermanfaat dan tidak kemudian dibangun berdasarkan konklusi yang dicapai melalui proses kontetasi makna-makna.
Jika diperhatikan, madzhab pertama dan kedua tampak sekali berada dalam posisi yang berseberangan secara diametral, sekalipun keduanya sama-sama berpihak pada kemapanan. Jika yang pertama lebih mengabdi pada kemapanan sosial maka yang kedua pada pelestarian dominasi penguasa. Jelas pula bahwa madzhab ketiga kelihatan lebih elegant, kompetisi tampak lebih mungkin berlangsung secara fair. Namun demikian haruslah segera disadari bahwa ketiga madzhab tersebut adalah perspektif atau kacamata (theory) yang ditawarkan para ahli dalam memahami suatu proses pendidikan. Dengan demikian, jika terdapat fakta-fakta baru yang berbeda dari fakta yang digunakan para ahli dalam menjelaskan eksistensi pendidikan dalam suatu realitas sosial, maka perspektif pun bisa berubah, dekonstruksi teoretis tetap mungkin dilakukan.
Dalam relasi ini, sangat penting untuk memahami dan menyadari peran proses pendidikan yang berlangsung dalam masyarakat kita. Signifikansi ini harus dilihat dalam konteks untuk mewujudkan “tujuan luhur pendidikan,” yakni usaha untuk mewujudkan idealitas pada tataran realitas.
Pendidikan tidak semata merupakan transfer informasi, baik informasi ilmu pengetahuan dalam arti sains maupun keagamaan dan spiritualitas. Ia juga harus menjadi proses internalisasi nilai-nilai sesuai dengan rujukan ultimatif keyakinan masyarakat yang bersangkutan, nilai-nilai yang harus mengejawantah ke dalam praktik individual dan menjiwai interksi sosial. Dengan demikian, keteladanan menjadi salah satu unsur paling signifikan dalam proses pendidikan. Krisis keteladanan bisa menyebabkan manifestasi nilai-nilai ke dalam realitas kongkret mengalami krisis pula. Dalam konteks ini, tidak pada tempatnya mencari kambing hitam yang paling bertanggung jawab ketika aktivitas pendidikan ternyata memberi hasil yang jauh panggang dari api.
Dalam arti luas, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama semua lapisan masyarakat, bahkan setiap individu. Masing-masing punya andil (baca: hak dan kewajiban) sesuai dengan kemampuan dan otoritas yang dimiliki. Prilaku sosial setiap individu, sedikit atau banyak, akan mempengaruhi aktivitas pendidikan. Namun demikian, pihak yang paling bertanggung jawab tentulah yang memiliki otoritas paling kuat, baik otoritas kultural maupun –dan terutama– pemegang otoritas politik.

***

Jika secara makro pendidikan merupakan aktivitas yang melibakan semua lapisan masyarakat di mana pun dan kapan pun, maka secara mikro –setidaknya dalam paper ini– ia harus dilihat sebagai suatu proses yang dilaksanakan secara terencana, terkendali (dalam arti terarah), bisa dievaluasi, dan dalam lingkup yang spesifik. Dengan kata lain, paper ini melihat proses pendidikan dalam lingkup mikro sebagai aktivitas dan proses yang dilaksanakan melalui madrasah atau sekolah.
Dalam kaitan ini, setidaknya dua aspek signifikan harus medapat perhatian serius. Pertama, perumusan kembali tujuan pendidikan dalam kaitannya dengan konteks lokal tanpa mengabaikan realitas global, baik konteks sosial, ekonomi, politik, kultural, maupun keagamaan. Kedua, menyangkut aspek pengelolaan (managerial) dan kepemimpinan (leadersihp), termasuk relasi antara pemerintah dan rakyat (baca: swasta pengelola pendidikan).
Pendidikan harus diarahkan untuk seoptimal mungkin bisa melestarikan tradisi lokal, mengembangkan potensi lokal dan meningkatkan daya saingnya, tapi juga harus tetap dilihat dan dikembangkan dalam konteks dan konstelasi dialektika relasi golabal yang sangat mengandalkan free mareket dalam segala aspeknya, dan tetap fokus pada usaha melahirkan generasi yang mandiri dan bertanggung jawab. Sebagai ilustrasi, lokalitas yang perlu mendapat perhatian serius dalam bidang ekonomi misalnya, pentingnya menggagas lembaga pendidikan yang menjadikan berbagai potensi lokal sebagai bidang riset intensif dan komprehensif. Potensi ini bisa menyangkut masalah-masalah sosial, ekonomi, kukltural, maupun keagamaan. Sebagai contoh kasus, pertanian yang merupakan sumber utama income rakyat Sumenep perlu mendapat perhatian serius dari hulu hingga hilir, dari proses produksi hingga penjualan. Jika tembakau, misalnya, tidak lagi memberi keuntungan finansial yang maksimal kepada rakyat sekalipun masih tetap menjadi primadona aktivitas pertanian, maka perlu dicari dan dikembangkan pertanian lain dengan prospek profit yang lebih menuntungkan. Proses tanam yang berat dan sulit, kebutuhan modal yang besar dan mahal, tidak sebanding dengan nilai jual yang merugikan. Penjual, petani penghasil tembakau, tidak lagi punya otoritas dalam menentukan harga. Keterpakuan pada tembakau telah dengan jelas mengantarkan para petani semakin dalam terpuruk dalam kesengsaraan.
Usaha mengatasi keterpurukan pertanian ini bisa dilakukan –antara lain– melalui usaha membangun kemitraan dengan pendidikan tinggi yang punya kemampuan teruji dalam bidang pertanian dan agribisnis. Hal ini semata sebagai langkah awal untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi yang tujuan utamanya adalah mengabdi pada usaha-usaha melestarikan dan meningkatkan potensi lokal dalam bidang pertanian dan agribisnis. Namun demikian, usaha membenahi sektor pertanian dan agribisnis ini pun tidak bisa dilepaskan dari usaha melestarikan nilai-nilai kultural dan religius yang sangat kental dalam tradisi lokal di Sumenep. Pembenahan dalam aspek material yang mengabaikan aspek kultural dan spiritual kerap hanya melahirkan masalah baru seperti materialisme, korupsi, dan manipulasi yang kerap juga berujung pada membenamkan rakyat ke dalam kubangan kemiskinan dan ketakberdayaan.
Dalam konteks ini, kebebasan sangat penting ditanamkan. Kebebasan yang berjalin dengan keberanian untuk menjaga agar program “pemberdayaan” tidak berubah menjadi “pemperdayaan,” baik oleh sesama rakyat sendiri maupun oknum pemerintah. Kebebasan untuk melakukan kritik tetap dalam koridor aturan hukum yang berlaku. Seyogyanya, tokoh-tokoh kultural (nonformal leaders) berada di lini terdepan untuk menggagas dan mengawal usaha-usaha pembenahan semacam ini, terutama ketika wakil rakyat tidak berdaya mewakili mereka. Dengan kata lain, perencanaan pendidikan tidak bisa dilakukan hanya dengan copy-paste program tahun lalu ke program tahun yang akan datang. Perencanaan pendidikan harus memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, kultural, dan keagamaan secara integral. Menceraikan salah satunya hanya akan menghasilkan masalah baru. Apalagi jika program hanya dicopy begitu saja dari perencanaan tahun lalu yang sudah terbukti tidak berhasil. Ini hanya akan mengulang kegagalan yang semakin parah. Semua harus membuka mata untuk mengetahui kegagalan-kegagalan yang telah terjadi, membuka pikiran agar tidak mengulang kegagalan pada tahun berikutnya, membuka hati agar para pemegang kebijakan (baik swasta maupun pemerintah) bisa berempati dan bisa merasakan setiap tetes keringat rakyat yang tak terbayar bahkan setelah masa panen berlalu.
Pertanian hanya salah satu kasus yang kita hadapi. Dalam bidang politik, misalnya, pendidikan harus diarahkan pada usaha membina dan melahirkan generasi yang dewasa, rasional, dan bertanggung jawab. Kedewasaan yang mampu menerima kritik sepahit apa pun; rasionalitas yang mampu melakukan kalkulasi sosial, kultural, dan religius dalam setiap pengambilan keputusan politik, dan akhirnya kedewasaan dan rasionalitas yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosiologis kepada rakyat dan secara teologis kepada Allah swt. (jika beriman!).
Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa perencanaan pendidikan haruslah didasarkan pada kebutuhan real rakyat yang terus berubah dan meningkat, perencanaan yang realistis dan antisipatif. Hal ini bukanlah pekerjaan mudah, ini membutuhkan keterlibatan para ahli dan para praktisi dalam banyak bidang yang menyangkut hajat kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, perencanaan dan eksekusi program pendidikan tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah saja, atau –apalagi– hanya rakyat (baca: swasta) saja. Dibutuhkan kerjasama dalam kerangka kemintraan antara pemerintah dan rakyat dengan melibatkan para ahli dalam bidang yang bersangkutan.
Aspek kedua yang juga sangat sangat penting adalah pola pengelolaan (managerial) dan kepemimpinan (leadership). Rakyat (baca: swasta) pernah punya pengalaman menakjubkan ketika mereka mendesain dan melaksanakan aktivitas pendidikan pada masa-masa yang lalu. Lembaga pendidikan rakyat pernah banyak menghasilkan pribadi-pribadi dengan kemampuan yang bisa diandalkan, mandiri, dan punya integritas moral yang bisa dipercaya (amanah). Salah satu alasan keberhasilan ini adalah karena lembaga pendidikan pada masa lalu tidak mempunyai batas demarkasi intelektual antara kurikulum yang mereka gunakan dengan permasalahan masyarakat di sekitarnya, dan materi yang diberikan pun tidak terbatas sebagai teori atau informasi belaka malainkan terintegrasi ke dalam praktik sosial. Namun demikian, mater-materi yang bersifat global bukan berarti tidak ada sama sekali. Lebih dari itu, lembaga pendidikan betul-betul independen dan mandiri, baik dalam hal pengelolaan maupun pendanaan. Mereka menentukan sendiri apa yang “harus” diajarkan dan apa yang tidak. Mereka mencukupi sendiri beban finansial yang harus dikeluarkan dalam proses pendidikan. Akhirnya, seleksi sosial membuat keputusan sendiri secara mandiri lembaga manakah yang bisa bertahan atau tidak, yang sangat ditentukan oleh reliabilitas para lulusannya.
Sialnya, dua komponen ini kini nyaris lenyap dari dunia pendidikan. Lembaga pendidikan beranjak menjadi institusi yang nyaris “tidak mau tahu” pada permasalahan sosial di sekitarnya. Semua ini terjadi sebagai akibat “penyeragaman” nasional dalam kurun waktu yang cukup lama. Perbedaan dipandang sebagai perlawanan, kemandirian dinilai sebagai gejala subversi. Akibatnya, kreativitas para pendidik dan pengelolan lembaga pendidikan mengalami kemandulan. Ketika dominasi penguasa berkurang, ketika otonomi pendidikan diberikan, banyak –bahkan nyaris semua– lembaga pendidikan tidak mampu menyambut kebebasan mendesain dan mengelola proses pendidikan secara maksimal. Bahkan, ketika pemerintah menunjukkan political will dengan memberi subsidi tunai, banyak lembaga pendidikan justru mengalami “kecanduan” dan tidak berdaya tanpa uluran tangan pemerintah untuk tidak mengatakan tidak mampu menjadi lembaga yang kaya mendadak. Belum lagi skandal manipulasi data untuk mendapatkan “kue” yang lebih banyak.
Rakyat tidak hanya harus sadar bahwa mereka punya kemampuan, tapi juga harus sadar untuk tidak menodai niat baik pemerintah membantu mereka secara finansial, seperti dengan melakukan manipulasi data, memberi uang saku kepada aparat yang melakukan survey, akreditasi, dan semacamnya. Karena mereka, para abdi rakyat, datang untuk membantu dan bukan untuk minta uang. Namun yang terjadi, swasta telah kerap membuat para abdi rakyat “kecanduan” sebagaimana swasta yang “kecanduan” dana segar. Dalam hal ini, lagi-lagi para korbannya adalah rakyat; anggaran yang tidak begitu besar malah hangus di saku dan rekening yang tidak jelas, sementara kualitas pendidikan dalam beberapa aspek tetap terpuruk. Memang, tidak semua lembaga pendidikan mengecewakan. Ada beberapa yang patut dibanggakan, namun prosentasenya tidak sebanding dengan toleransi kegagalan yang wajar diterima.

***

Beberapa prinsip strategis penting diperhatikan. Pertama, semua pihak harus mengubah mindset bahwa pendidikan adalah aktivitas pengabdian, aktivitas non-profit yang harus sepenuhnya menghindari usaha-usaha mencari keuntungan pribadi. Bahkan, harus digagas usaha penyediaan pendidikan gratis yang berkualitas dengan melibatkan dunia usaha sebagai penyandang dana. Kedua, harus ada kemauan baik pada pihak swasta maupun pemerintah untuk menghargai tradisi lokal, dan berempati pada permasalahan sosial. Dengan demikian, perencanaan dan proses pendidikan bisa diharapkan mengabdi pada kepentingan rakyat. Ketiga, pemerintah dan swasta harus sepenuhnya sadar bahwa kerjasama dalam proses pendidikan bersifat kemitraan (partnership), tidak ada yang subordinatif maupun superordinatif, sehingga kritik dan otokritik bisa berlangsung dalam suasana kondusif dan tidak ada ketersinggungan. Keempat, harus ada transparansi dan kebebasan dalam semua aspek manajemen proses pendidikan, sehingga semua pihak bisa saling menjaga agar salah satu dari mereka tidak terjebak ke dalam kesalahan yang bisa merugikan pihak lain atau rakyat.
Dengan berdasarkan prinsip strategis di atas, pendidikan harus didesain untuk mengabdi dan diarahkan usaha-usaha untuk memenuhi kepentingan rakyat dalam segala aspeknya, dengan berusaha untuk melestarikan tradisi lokal, mengembangkan potensi lokal, dan untuk memenuhi kebutuhan lokal dengan tetap memperhatikan dan responsif pada kompetisi global dalam kerangka keindonesiaan. Indikator yang bisa dikemukakan untuk menilai desain pendidikan ini adalah terwujudnya relasi positif antara proses pendidikan dengan usaha mengatasi masalah-masalah sosial dalam skala lokal, terintegrasinya nilai-nilai moral dan kultural yang bisa dilihat dalam perilaku peserta didik dan keteladanan para praktisi pendidikan, serta kemampuan para lulusan dalam konteks kebutuhan lokal dengan prosentase keberhasilan yang wajar. Selain itu, budget yang dianggarkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam perimbangan dengan pos anggaran yang lain, dan jumlah donasi dunia usaha pada dunia pendidikan, mencerminkan kepedulian dan perhatian pemerintah dan dunia usaha pada usaha peningkatan kualitas pendidikan.
Masih dalam konteks desain pendidikan, semua pihak harus menyadari potensi infiltrasi ideologi-ideologi asing ke dalam tradisi lokal, baik yang bernuansa materialisme maupun keagamaan. Jika yang pertama akan mendorong gaya hidup hedonis dan konsumtif, yang di dalamnya keberhasilan diukur dengan tingkat akumulasi kekayaan materi dan kecenderungan mengumbar nafsu dan menikmati hal-hal yang bersifat material dan jasmaniah, maka yang kedua justru akan berusaha mengenyahkan tradisi lokal, baik yang bersifat religius maupun kultural. Dalam kaitan ini, tugas lembaga pendidikan keagamaan memegang peran penting dan harus mampu mengantisipasi ancaman ini, baik pada tingkat epistemologis maupun sosial dengan memperkuat pengkajian ajaran-ajaran agama dan membicarakannya dalam relasi dengan permasalahan sosial dan tetap dalam konteks lokal dan keindonesiaan.
Akhirnya, sebaik apa pun konsideran dan referensi yang disediakan, perencanaan dan pelaksanaan serta evalusi pendidikansangat tergantung pada ketulusan para pengelola dan pihak-pihak yang terkait. Tanpa ketulusan para praktisi pendidikan, sulit berharap kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan bahkan dalam skala lokal sekalipun. Semua, akhirnya, kembali kepada para pengelola dan praktisi pendidikan.

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN DALAM OTONOMI DAERAH

(Sebuah Saran Terhadap Perkembangan Pendidikan Di Sumenep)

Oleh. Iskandar Dzulkarnain, S.Th.I, M.Si

(Lahir di Sumenep 26 Maret 1980, alumni Ponpes Al-Amien, lulusan pascasarjana UGM Yogyakarta jurusan Sosiologi dengan predikat Cum Laude dan dengan IP Sempurna (4,00). Penelitiannya di antaranya: Relasi Sosial Antarumat Beragama di Sumenep (2002-2003); Relasi Sosial, Kemandirian £t Perubahan Sosiat Petani Kerawang Jawa Barat oleh Tim Pascasarjana UGM (Desember 2004); Persoalan Copy Right Bagi Buku Pelajaran Tingkat Sekotah Dasar Et Lanjutan Kerjasama dengan FH. Sanata Dharma, YLKI Jakarta Et Yogyakarta (April 2005); dan Pergeseran Paradigma Masyarakat Pesantren terhadap Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren (2004-2006). Penelitian terakhir ini dalam waktu dekat akan diterbitkan salah satu penerbit di Yogyakarta. Sekarang sedang mengajar di Sekolah Tinggi Islam Al-Karimiah (SETIA), dan sedang menyelesaikan tesis S2 satunya di UIN Yogyakarta jurusan Politik Islam, alamat emailnya: Iskandar 80C Mail. Ugm. Ac. Id)

A. Dataran Normativitas (Pendahuluan)
Desentralisasi akhir-akhir ini marak diperbincangkan berbagai kalangan di tanah air sebagai wacana untuk mengimbangi hegemoni sistem sentralistik yang telah berakar di Indonesia sejak kurun waktu yang lama. Urgensi wacana desentralisasi ini untuk menyadarkan kita akan pentingnya membangun sebuah dialog konsep yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi dasar bagi perbaikan konsep dan reformasi sistem penyelenggaraan sosial, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan.
Desentralisasi muncul sebagai solusi alternatif sistem pendidikan terhadap tantangan masa depan yang semakin kompetitif, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat menunjukkan temuan-temuan mutakhir yang semakin canggih. Untuk itu, semangat kompetitif dan spirit kuriositas yang tinggi sangat dibutuhkan. Sedangkan semangat kemajuan dan progresivitas selalu muncul dengan baik dalam suasana yang kondusif dan bebas, sebagai akibat lanjutan dari penerapan pengelolaan sosial yang dilakukan secara sentralistik (memusat). Selain itu juga, sebagai terobosan yang digunakan untuk memaksimalkan potensi lokal dengan semaksimal dan seoptimal mungkin dalam peran sertanya dalam pengembangan pendidikan, apalagi kalau direlevansikan dengan konteks ke Indonesiaan yang sangat inklusif dan plural.
Meskipun demikian, tentu ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam sistem ini, terutama jika dihubungkan dengan kesiapan daerah dan kondisi riil lokal yang kenyataannya tidak selalu memiliki potensi-potensi yang dikembangkan dengan mudah. Akan tetapi, dalam hat ini penulis atau pemakalah setuju jika ada pernyataan bahwa kepada siapa lagi persoalan­persoalan itu harus diserahkan dan diselesaikan jika tidak oleh yang bersangkutan, karena merekalah yang sesungguhnya lebih mengetahui problem dan potensi solusinya. Dalam hal inilah penulis mencoba untuk memetakan otonomi pendidikan yang ada dalam masyarakat kita.
B. Proses, Pendekatan dan Adaptasinya
1. Kebijakan Otonomi Daerah
a) Latar Belakang Otonomi Daerah
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer disebutkan bahwa kebijakan merupakan garis haluan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan dan kepemimpinan, terutama dalam pemerintahan organisasi dan sebagainya.
Sedangkan signifikansinya dengan keberadaan otonomi adalah, adanya penyerahan wewenang daerah untuk mengatur segala bidang, kecuali hal-hal tertentu yang menjadi wewenang pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam UU no. 22 pasal 7 ayat 1 yang menegaskan tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Seluruh bidang kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan moneter, fiskal, dan agama diserahkan kepada daerah, dan lebih tegas lagi daerah tingkat II. Dalam pasal ini juga dielaskan bahwa khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatan dapat ditugaskan oleh pemerintah kepada daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama.
Selain itu juga prinsip otonomisasi dan desentralisai ditegaskan kembali dalam GBHN 1999-2004 tentang pendidikan yang mencakup beberapa hal : pertarna, perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu; Kedua, peningkatan kemampuan akademik, profesional dan kesejahteraan tenaga kependidikan; ketiga, pembahasan sistem pedidikan (sekolah dan luar sekolah) sebagai pusat nilai sikap, kemampuan dan partsisipasi masyarakat; keempat, pembahasan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi dan manajemen; kelima, peningkatan kuantitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh.
Pada tahun 1999 pemerintah RI memberlakukan Undang-Undang otonomi yang merupakan agenda penting sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah, yaitu Undang-Undang No. 22. Tahun 1999 tentang Otonomi daerah. Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi menuju arah desentralisasi yang ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah serta memberdayakan masyarakat, sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangan atau kekuasaan atas prakarsa sendiri.
Pemusatan kekuasaan dan kekuatan yang disertai penyalahgunaan penguasaan telah menjadi bahasa harian. Hukum dirumuskan bukan untuk melanggengkan kekuasaan sebagai sarana menumpuk kekayaan dan memenuhi ambisi individu maupun kelompok.
Upaya-upaya di atas tidak sia-sia karena pada akhirnya ikut andil lahirnya apa yang dikenal dengan orde reformasi, yaitu era rakyat menuntut perubahan pada seluruh aspek kehidupan. Termasuk salah satunya evaluasi terhadap peran pemerintah pusat yang sentralistis dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam daerah. Karena dalam kenyataannya, selama Orde Baru berlangsung jelas sekali nampak pada waktu itu lebih mengedepankan kepentingan pusat daripada aspirasi daerah.
Selain itu, ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah dilihat dari segi ekonomi, tampak dari pengolahan sumber-sumber potensi daerah, dimana yang kaya akan hasil tambang, hasil bumi, maupun hasil hutan kurang mendapatkan perhatian yang seimbang dengan sumber pendapatan yang mereka kirimkan ke pusat. Semua pendapatan daerah disedot ke Jakarta dan di distribusikan ulang dengan formula tertentu yang tidak jelas bagaimana pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Pada akhirnya reformasi yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistis ke desentralistis yang ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah dalam waktu "seketika". Perrberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah atau memberdayakan masyarakat, sehingga leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Hal inilah yang lebih esensial dari otonomi adalah semakin besarnya tanggungjawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat-masyarakat di daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan.
Sayangnya, harapan dan kenyataan (de soulen and de saien) tidak selalu berjalan beriringan. Penafsiran yang sempit akan makna otonomi telah melahirkan jalan panjang dan berliku untuk mewujudkan desentralisasi yang hakiki. Belum apa-apa, di sejumlah daerah telah muncul tanda-tanda keinginan untuk balik haluan. Tidak sedikit guru yang seharusnya menjadi garda terdepan praksis pendidikan, malah kembali ke pola lama : sentralistik. Hal ini berarti, dijalanan yang terjal, gerbang otonomi bisa tergelincir dari rel yang ada.
Fenomena itu mungkin hanya bersifat kasuistik. Maksudnya, hanya terjadi di sejumlah daerah. Belum bisa di generalisir. Namun, suara "arus balik" itu lama-lama sampai juga ke telinga para pejabat Pendidikan Nasional. Kemudian dilihat dari fungsi pemerintahan, desentralisasi atau otonomi menunjukkan:
1) Satuan-satuan desentralisasi atau otonomi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
2) Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan lebih efisien.
3) Satuan-satuan desentralisasi atau otonomi lebih normatif.
4) Satuan-satuan desentralisasi atau otonomi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang tinggi dan lebih produktif.
b. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah
Upaya untuk melaksanakan otonomi daerah yang telah digulirkan Januari 2001, yaitu tahun fiskal 2001 adalah merupakan tekad bersama bagi aparat pusat maupun daerah. Sehingga untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang kuat, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional, karena secara teoritis pelaksanaan dalam otonomi daerah sebenarnya terdapat sendi-sendi pilar penyangga otonomi daerah. Sendi-sendi tersebut adalah (1) Sharing of Power (pembagian kewenangan), (2) Distribution of income (pembagian pendidikan), dan (3) Empowering (kemandirian dan pemberdayaan pemerintahan daerah), ternyata ketiga sendi­-sendi tersebut sebagai pilar otonomi telah dijabarkan dalam prinsip otonomi sebagai tertuang dalam UU No.22f1999 juga UU No. 25/1999.
Prinsip-prinsip otonomi daerah adalah:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaramaan daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedangkan otonomi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan asas dekosentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahan.
8. Pelaksanaan atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintahan Pusat kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintahan Pusat dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
2. Otonomi Pendidikan atau Desentralisasi Pendidikan
Otonorni pendidikan atau desentralisasi merupakan salah satu tema pokok reformasi politik Indonesia pasca Soeharto. Dalam bidang bahasa Inggris kata outonomy berasal dari bahasa Yunani otonomia, outo berari sendiri, nomos mempunyai arti hukum atau peraturan. Di samping itu kata outonomia ini juga mempunyai beberapa maksud yaitu (1) the quality or coordition of being otonomons: self government (2) any statethe govern it self. Dalam kamus bahasa Indonesia otonomi diartikan "Pemerintahan Sendiri", sedangkan desentralisasi secara etimologi istilah ini berasal dari bahasa latin, de berarti lepas dan contium berarti pusat. Oleh karena itu desentralisasi diartikan melepaskan diri dari pusat.
Pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah telah menimbulkan ekses kurang kondusif terhadap pendidikan dasar-menengah. Pendekatan demokratis dan pendekatan birokratis yang dulunya diperankan oleh pejabat Depdiknas berpindah ke bupati/walikota.
Dalam hal ini, era desentralisasi harus mengacu kepada School Based Management. Artinya pengelolaan otonomi pendidikan tidak hanya berhenti pada kabupaten, tetapi harus dilanjutkan pada sekolah yang menginginkan adanya keseimbangan antara kewenangan sekolah, kabupaten, pemerintah daerah dan pusat. Tapi dalam implementasinya masih memerlukan proses dan acuan yang lebih lanjut. Makanya, persoalan otonomi pendidikan itu tidak bisa dievaluasi secara terburu-buru, karena Undang-Undangnya masih begitu umum. Sementara perangkat pendukung lainnya yang mengatur peran serta masyarakat baru dikeluarkan, yaitu tentang dewan pendidikan dan komite sekolah.
Ada tiga faktor penting yang sangat menentukan sukses dan tidaknya pemberlakuan otonomi atau desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah ini, yaitu pemerintah pusat, pemerintahan daerah dan sekolah. Masing-masing faktor tersebut memiliki peran yang berbeda satu sama lainnya. Walaupun demikian, perbedaan peran yang dimiliki bukan berarti tidak berkaitan satu sama lainnya, justru perbedaan peran tersebut lebih merupakan suatu job distribution, yang sifatnya saling mendukung dan menyokong suksesnya penerapan konsep atonomi dan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi berangkat dari pengakuan atas otoritas pusat yang diserahkan ke daerah. Implikasi kewenangan tersebut tersurat dalam pasal 11 ayat 2 bahwa bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidanq pemerintah yang wajib ditakukan oleh daerah kabupaten.
Sementara itu, Sidi mengemukakan ada empat hal isu kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang perlu direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah.
Sedangkan menurut Sindhunata, dalam bukunya mengatakan bahwa kebijakan pendidikan ditetapkan pada masa orde baru menyebabkan mutu dan kualitas pendidikan Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan mutu dan kualitas pendidikan di negara lain. Karena kita tahu bahwa pendidikan di seluruh tanah air direkayasa oleh penguasa untuk ikut mendukung rezim Soeharto, yang mendewakan stabilitas politik dan pendekatan keamanan.
Namun demikian, kasus penerapan sistem desentralisasi pendidikan di Indondonesia oleh beberapa pengamat justru melihatnya sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Seperti yang dikemukakan Kacung Marijan misalnya, ia justru lebih melihat atasan dilaksanakannya otonomi pendidikan, khususnya desentralisasi pendidikan perguruan tinggi lebih karena alasan ekonomi-finansial. Hal ini dapat dilihat secara jelas dari titik berat otonomi perguruan tinggi yang tebih mengemukakan alasan untuk efisiensi dan efektivitas dari pada alasan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal seharusnya sistem otonomi pendidikan lebih diarahkan untuk menumbuhkan semangat kompetitif di kalangan civitas akademika di perguruan tinggi dalam mengembangkan riset dan sisi-sisi keilmuwan lainnya secara lebih leluasa.
Dengan diterapkan sistem desentralisasi berarti kendala-kendala operasional yang sering dihadapi oleh sistem sentralistik menjadi lebih banyak diatasi. Selain itu, pengelolaan yang dilakukan oleh institusi yang paling dekat dengan daerah lebih memungkinkan untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih berkualitas kepada masyarakat.
Sedangkan pendanaan untuk mendanai kegiatan pendidikan menurut Djohar, dapat diperoleh sedikit-dikitnya dari 7 sumber, yaitu bersumber dari (1) kontribusi pemerintah, SPPI siswa; (2) memperbanyak hak paten yang mempnyai nilai jual ; (3) membangun unit produksi; (4) memiliki program unggulan ; (5) dukungan masyarakat; (6) kerjasama horizontal: (7) mengembangkan lembaga pendidikan berwawasan bisnis.
Dalam era otonomi daerah seperti saat ini, pembaharuan pendidikan harus segera dilakukan agar masyarakat secara luas, keluarga, sektor swasta, politisi dan juga unit-unit pemerintahan di semua tingkatan, akhirnya mampu memahami bahwa pendidikan merupakan human investment penting yang harus dirancang dan dibiayai secara lebih memadai, agar bangsa ini mampu tumbuh dan bersaing dengan bangsa lain seiring dengan pertumbuhan dan proses demokratisasi dalam berbagai sistem kehidupan di Indonesia. Membangun pemahaman seperti ini memang tidak mudah karena sektor pendidikan tidak bersifat quick yield, sehingga kurang memberikan daya tarik bagi banyak pihak untuk memandang sektor pendidikan sebagai human investment yang bersifat jangka panjang bagi proses peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah.
Sehingga hubungan antara otonomi daerah dan otonomi pendidikan sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang pernerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah, membawa dampak dan implikasi yang Was terhadap segala aspek terhadap bangsa. Secara lebih tegas lagi UU No. 22 pasal 7 ayat 1 menyatakan tentang kewenangan pemerintahan pusat dan daerah seluruh bidang kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan moneter, fiskal dan agama diserahkan kepada daerah khususnya daerah tingkat II. Dengan demikian pelaksanaan Undang-undang tersebut membawa implikasi terhadap setting pendidikan, baik di tingkat pusat atau daerah. Antara tain: otonomi dan pengembangan budaya daerah melalui otonomi pendidikan dan pengembangan SDM dalam bidang pendidikan melalui otonomi daerah dan desentratisasi pendidikan dalam membentuk masyarakat madani Indonesia.

3. Kebijakan Otonomi Pendidikan
Kebijakan otonomi pendidikan dalarn konteks otonorni daerah sebagai berikut, di antaranya pertama, secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas" kekeliruan" kita selama lebih dari dua puluh tahun bergelut dengan persoalan -persoatan kuantitas. Kedua, pada sisi otonomi daerah, otonorni pendidikan mengarah pada menipesnya kewenangan pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Ketiga, terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan. Keempat, kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada relnya. Kelima, pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip school based management pada tingkat pendidikan dasar dan menengah; penataan kelembagaaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan. Keenam, sudah selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan. Ketujuh, pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka otonomi keilmuwan. Kedelapan, dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-mata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional. Kesembilan, secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keungulannya.
Menurut Fransisca Kemmerer, sekurang- kurangnya ada empat bentuk desentralisasi pendidikan. Pertama, dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran birokrasi pusat. Kedua, pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintahan atau badan yang dikelola secara publik. Ketiga devolusi, yakni pengalihan kewenangan ke unit pemerintahan daerah. Keempat, swastanisasi , berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan. Dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yang terakhir, swastanisasi.
Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya ketemahan kanseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khusunya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah:
1) kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan serba seragam,yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.
2) Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mapu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan formalisme dan pada saat yang sama, cenderung mengabaikan ranah afeksi dan psikomotorik.

4. Refteksi (Desentralisasi Pendidikan: Peluang dan tantangan Aplikasinya)
Menurut Yoyon Suryono, secara umum desentralisasi (otonomi) pendidikan berada dalam dua kawasan besar, otonomi pendidikan persekolahan dan otonomi pendidikan perguruan tinggi. Otonomi dikawasan persekolahan dapat bernuansa dekonsentrasi, delegasi, devolusi atau privatisasi.
Dalam teknis ada dua hat penting diperhatikan dalam mengembangkan desentralisasi pendidikan di perguruan tinggi. Pertama, struktur organisasinya harus diperhatikan jangan sampai organisasi ini terlalu gemuk, sehingga gerakannya sulitsekali. Kedua, fungsi dari masing-masing unit dalam organisasi di perguruan tinggi juga harus diperhatikan.
Selain itu, tuntutan untuk segera membenahi diri ini juga berlaku untuk semua lembaga pendidikan di tanah air ter masuk institusi sekolah dalam semua level dari tingkat dasar sampai menengah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Untuk itu, semua hal ditanamkan dalam benak kita adalah pemahaman bahwa pendidikan merupakan institusi yang penting bagi penyiapan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang benar-benar berkualitas.
Untuk itu pula, maka program pendidikan nasional yang amat penting yaitu peningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan yang tercover dalam semangat desentralisasi pendidikan adalah upaya mendasar yang sangat perlu disambut oleh semua insan akademik dan educationist di Indonesia. Sehingga sistem pendidikan nasional di tnah air ini untuk untuk waktu yang tidak pendek dipaksa untuk mengikuti kemauan pusat kekuasaan tanpa diberi peluang yang leluasa untuk menata pelakasanaan pendidikan yang sesuai dengan corak lokal masing-masing daerah.

5. Format Pendidikan Era Desentralisasi

Salah satu platform yang diangkat dalam era desentralisasi sebagai kerangka reformasi pendidikan nasional adalah pengembangan pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Pengembangan ini bertujuan untuk membantu pemerintah dalam mobilisasi SDM setempat dan dari luar serta meningkatkan paranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan. Kedua mendorong perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial buadaya. Ketiga mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatakan dukungan masyarakat terhadap sekolah, khususnya anggota dan orang tua serta anggota masyarakat lainnya melalui kebijakan desentralisasi. Keempat, mendukung peranan masyarakat mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan dan mengganti peran sekolah dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi ; pembukaan kesempatan lebih besar dalam memperoleh pendidikan; peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dasar untuk wajib belajar pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Dalam praktek pendidikan berbasis masyarakat ini pada dasarnya telah dimulai sejak sejarah perkembangan Islam di bumi nusantara ini. Contohnya, pesantren, surau, dayah, bustanul athfal dan lembaga-lembaga lainnya, di mana selama ini didirikan dan dikelola oleh masyarakat dengan mandiri. Akan tetapi untuk konteks sekarang, maka format yang ada pada masa itu dapat diadopsi kembali, cuma dalam dataran praksisnya lembaga pendidikan tersebut haruslah mendapatkan perlakuan yang sama dengan lembaga pendidikan yang lain (negeri), baik dari segi pengadaan fasilitas maupun, pemberian dana. Karena selama ini pendidikan yang berbasis masyarakat tersebut sering dianak tirikan oleh pernerintah, sehingga hal tersebut berakibat pada adanya ketimpangan dan ketidak adilan antar lembaga pendidikan yang satu dengan lembaga pendidikan yang lain (agama dan non agama). Hal ini juga untuk mendorong, agar out put yang nantinya "diproduk" oleh lembaga-lembaga pendidikan tersebut dapat bersaing dengan kompetitif dan sportif, sehingga akan saling memacu untuk meningkatkan kualitasnya masing-masing.
Dengan adanya pendidikan berbasis masyarakat ini, diharapkan akan terjadi keselarasan dan kesinambungan antara, produk pendidikan yang dihasilkan dengan kebutuhan masyarakat daerah masing-masing. Hal ini menjadi penting, karena pendidikan yang selama ini berjalan dan dijalankan oleh pemerintah masih sentralistis, sehingga mengakibatakan adanya kesenjangan sebagai jurang pemisah yang cukup lebar antara produk yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan (de soulen dan de sience) , dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Pada akhirnya yang terjadi adalah masyarakat terpetajar yang terasing dengan kebutuhan komunitas masyarakat "daerah" berusaha untuk urban ke kota, yang dianggap sebagai peluang untuk memanfaatkan keilmuan yang telah ia dapat.
Pada dasarnya pendidikan, masyarakat dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang dapat dikatakan sebagai tritunggal, di mana kebudayaan diposisikan sebagai dasarnya, masyarakat sebagai penyedia saran dan prasarana, dan proses pendidikan merupakan kegiatan untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai yang mengikat kehidupan bersama dalam masyarakat.

C. Hasil (Penutup)
Dalam era otonomi daerah ini, maka setiap komponen bangsa harus segera tanggap akan tuntutan zaman dan perkembangannya. Tidak terkecuali pelaksana pendidikan yang merupakan salah satu ikon penting dalam menjaga dan melestarikan keberlangsungan negara.
Otonomi daerah menuntut adanya kreatifitas serta inovasi yang cemerlang bagi setiap komponen yang berkiprah dalam bidang pendidikan, agar dapat menjadi sarana dan wahana bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang ada dalam masyarakat.
Salah satu yang dapat dijadikan sebagai langkah antisipatif, yaitu dengan melaksanakan dan memaksimalkan budaya lokal, baik skala regional maupun nasional untuk dijadikan sebagai bahan kajian dalam pendidikan agar selaras dengan semangat desentralisasi. Meskipun demikian, diantara berbagai kesuksesan dalam otonomisasi pendidikan, ada hal yang patut menjadi pertimbangan, yaitu semakin melebarnya jarak antara penyelenggara pendidikan yang satu dengan satunya. Hal ini disebabkan bedanya kualitas sumberdaya manusia pendidiknya, serta fasilitas yang diberikan tiap-tiap sekolah.
Dengan demikian, otonomisasi pendidikan juga harus diikuti dengan program penyempurnaan tenaga profesional dari para pendidik serta perlunya keseragaman fasilitas tiap sekolah. Hal ini merupakan sebuah keharusan untuk menyetarakan antara pendidikan di suatu daerah dengan daerah yang lain, seperti daerah konflik, atau miskin, bukan hanya sebuah program yang tidak diikuti oleh kebijakan-kebijakan yang lainnya. Apalagi, dengan adanya standarisasi Ujian Akhir (UN) yang sangat tinggi, sampai 5,25.
Otonomisasi pendidikan selama ini malah menjadikan mahalnya pendidikan dan semkain melebarnya jarak dan hasil didikannya antara satu penyelenggara pendidikan dengan satunya, seperti pendidikan di sekolah favorit di Jawa dengan pendidikan di daerah konflik. Selain itu, berkurangnya subsidi dari pemerintah terhadap pendidikan telah membuat sistem pendidikan kita seperti “mati suri” atanpa gerak maju ke arah yang lebih baik, malah semakin membuat banyak masyarakat Indonesia yang tidak mendapatkan pendidikan.

Daftar Pustaka
Azra. Azyumardi. Desentralisasi Pendidikan dan Otonomi Daerah Implikasinya Terhadop Pendidikan Islam". dalam jurnat Ilmiah AT TA'DIB. Gontor: ISID, 2000
_________________ Paradigma Baru Pendidikan nasional ; Rekontruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Kompas, 2002
Djohar. Penggalian Sumber Dana Pendidikan dalam rangka Otonomi Daerah, makalah disampaikan dalam peluncuran buku dan Seminar Regional Otonomi Pendidikan dan otonomi daerah Universitas Sanata Dharma, 22 Febuari 2001.
Irewati. Awani dan Widyahartono. Bob. "Belajar Otonomi Daerah dari Jepang: Kombinasi Sistem Eropa-Amerika", dalam Jawa Pos, Edisi 16 Maret 2001
Jalal. Fasti dan Supriyadi. Dedi (Ed). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa, 2001
Kemmerer. Fransisca. "Desentralisasi of Schooling in Developing Nations". dalam The Encyclopedia of Education
Machfoedz. Mas'ud. Manajemen Keuangan dan Kualitas Pendidikan Tinggi, makalah Seminar Nasional Manajemen Pendidikan Tinggi dan Universitas di Indonesia dalam era Otonomi dan Globalisasi, Universitas Gadjah Mada, 20 November 1999
Marijan. Kacung. "Otonomi Kampus dan Elitisme pendidikan". dalam Harian Jawa Pos, Edisi Rabu tanggal 4 April 2001
Muchsan. "Kajian Yuridis UU No22 Tahun 1999". dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial
Mulyasa. E. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung: Rosda Karya, 2002
Nara. Nasrullah. "Jalan terjal Menuju Qtonomi daerah". dalam Kompas, Selasa 17 Desember 2002
Penjelasan Dasar Pemikiran Undang-Undang Otonomi Daerah 9999. Bandung: Citra Umbara, 2001
Salam. Darma Setyawan. Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumberdaya. Jakarta: Djambatan, 2001
Salim. Peter &t Salim. Yenny. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta, Modern English Press, 1991
Sindhunata. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Suryono. Yoyon. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah". dalam jurnal Dinamika Pendidikan. FIP-UNY, nomor 2 tahun VII, 2000
Suyanto dan Hisyam. Djihad. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium llt. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000
Tilaar. H.A.R. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Rosda Karya, 2000
Undang-Undang Otonomi Daerah. Yogyakarta, Bintang Cemerlang, 1999
Umaedi. "Otonomi Pendidkan dan Sadar Mutu". dalam majalah Gerbang. Edisi 8, Th i, Mei-juni 2002
Yusdan. "Jaminan Kepentingan Rakyat dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah". dalam Jurnol MILLAH. MSI-UII, No i. Yogyakarta: 2001

 

 

 Back To Daftar Isi

MERANCANG FORMAT PENDIDIKAN DI SUMENEP:

ANTARA PEMBERDAYAAN SDM DAN SOLIDITAS ALUMNI

Oleh A. Naufal Ramzy

(Penulis lahir di Karduluk Sumenep, 24 Juni 1964. Dia menamatkan MTs dan MA di Pondok Pesantren Annuqayah (1973-1983), kemudian melanjutkan pendidikannya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan S2 di Universitas Negeri Surabaya. Tulisannya pernah dimuat di majalah Potensi, Pesan, Surya, dsb. Editor pada penerbit Deviri Ganan Jakarta disamping pada wartawan freelance. Saat ini, Kepala KUA Kec. Pragaan ini mengajar di berbagai perguruan tinggi, antara lain IDIA Al-Amien, Universitas Madura, STAIN Pamekasan, dsb. Tinggal di utara Bank BRI Prenduan, Pragaan, Sumenep, 69464. E-mail: naufal_ramzy@yahoo.co.id)

A. Pendahuluan
Sebagian banyak masyarakat tentu sudah mengetahui bahwa kawasan kabupaten Sumenep merupakan basis komunitas masyarakat yang berlatar belakang pendidikan pesantren. Sekian ratus pondok pesantren yang exist di kawasan ini juga sudah banyak mencetak alumninya yang sukses bermobilitas sosial di tengah masyarakatnya masing-masing. Misalnya para alumni Pondok Pesantren An-Nuqayah (berdiri tahun 1887 M) Guluk-Guluk Sumenep Madura, jika mereka didata semuanya pasti jumlahnya puluhan ribu orang. Tak sedikit di antara para alumni itu yang sukses mendirikan lembaga pendidikan model pesantren juga di kediaman masing-masing, di samping juga dari mereka ada yang sukses menjadi anggota DPR, guru pegawai negeri sipil, hakim pengadilan, penghulu, dosen negeri dan swasta, kepala desa, sekretaris desa, ketua MUI, ketua ormas, direktur LSM, direktur perusahaan swasta, pebisnis produk seni ukir, dan lain sebagainya.
Belum lagi jika mengakses informasi tentang IKBAL (Ikatan Keluarga Besar Alumni Al-Amien), yaitu korp alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Pragaan Sumenep (lembaga pesantren ini berdiri tahun 1957). Titik-titik lokasi koordinasi daerah (Korda) IKBAL tersebut menyebar di hampir daerah tingkat II seluruh provinsi di Indonesia. Setiap tahun sekali (biasanya di bulan Ramadlan) Kyai Pengasuh Pesantren ini mengunjungi titik-titik Korda tersebut dengan maksud bersilaturrahmi dan merapatkan barisan bagaimana agar supaya para alumninya tetap memiliki hubungan emosional dengan lembaga almamaternya. Sebaliknya juga, setiap tahun sekali para alumni itu diundang menghadiri acara silnas (silaturrahmi nasional) di kampus pesantren ini untuk berdiskusi tentang apa dan bagaimana aspirasi atau sumbangan pemikiran mereka tentang prospek pembermutuan lembaga almamaternya ke depan nanti. Mereka diajak terlibat mencurahkan kritik dan saran-sarannya demi kebaikan dan kebermutuan lembaga almamater tersebut.
Para alumni itu pada umumnya sukses merancang dan meraih masa depannya pasca tamat dari Pesantren Al-Amien. Di antara mereka ada yang sukses mendirikan lembaga-lembaga pesantren di daerahnya masing-masing, sukses menjadi Pemred Majalah Gontor, Pemred Majalah Horison, berhasil menjadi dosen negeri atau swasta, dan di sektor-sektor lain yang kompetitif.
Dua ilustrasi di atas menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan pondok pesantren bukan hanya terletak pada aspek pembinaan para santri yang sekian tahun digembleng menjadi pribadi seorang muslim/muslimah yang sejati, tetapi juga terletak pada upaya memperkuat soliditas emosional para alumninya justru tatkala mereka dihadapkan pada sekian tantangan sosial budaya di daerah domisilinya masing-masing. Kesibukan mereka yang bertumpuk setiap saat tidak membuat mereka berdalih untuk melupakan lembaga almamaternya, tetapi justru mereka semakin terharu tatkala mengapresiasi emosionalitas perhatian kyainya terhadap mereka dan tanpa pilih kasih, baik alumni yang tidak nyeleneh maupun yang nyeleneh sekalipun. Keteladanan kyainya dalam hal menggalang urgensinya ikatan silaturrahmi dengan para anak didiknya yang telah kembali ke tengah masyarakat sungguh merupakan nilai kepemimpinan yang amat substansial.
Apakah lembaga-lembaga pendidikan pesantren di kawasan kabupaten Sumenep hampir identik dengan kedua ilustrasi di atas ? Jawabannya tentu tidak. Sebab beberapa lembaga pendidikan tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah-aliyah, dan pesantren kecil ada yang “berani” tampil beda dan justru cukup membingungkan persepsi publik masyarakat, dengan beberapa contoh perbuatan berikut ini:
Pertama, melakukan mark-up atau pembengkakan sejumlah murid fiktif, dengan maksud agar bisa memperoleh bantuan dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang lebih banyak. Mereka sangat tak memperhatikan efek hukum Islam dari perbuatannya, yang penting uang sekian juta rupiah bisa mereka kumpulkan.
Kedua, walaupun lembaga pendidikannya telah rutin menerima bantuan dana BOS dan BKG (bantuan khusus guru), namun kenyataannya ada lembaga pesantren yang tega memberikan honorarium kepada para dewan guru lembaga yang dipimpinnya sebanyak Rp 100.000 – Rp 200.000 setahun sekali. Tiap bulan para guru itu tidak menerima honorarium apa pun dari manager pesantren itu. Yang terlihat oleh publik, pimpinan pesantren itu semakin tampil “the Have” dan Ber-IT canggih, tanpa jelas sumber ekonominya yang menopang penampilannya.
Karena itu, bermutu atau tidak bermutunya sebuah lembaga pendidikan pesantren, semuanya amat ditentukan oleh SDM kyai yang memimpinnya, apakah beliau kyai substansial atau kyai simbolis. Itulah titik persoalan sentralnya. Artinya, semua terpulang pada kredibilitas manager pendidikan pesantren itu. Nah !!
B. Filsafat Pendidikan Kawasan Sumenep
Semacam apakah mestinya filsafat pendidikan diterapkan di kawasan kabupaten Sumenep? Secara definitif, pendidikan adalah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana, dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap. Apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat di mana kelak mereka hidup.
Jika kata pendidikan itu disandingkan dengan kata filsafat, jadilah ia frase atau term filsafat pendidikan. Secara operasional frase ini berakar pada kata kerja berfilsafat dan mendidik. Aktualisasinya memerlukan dua fase, tetapi dalam satu usaha. Berfilsafat berarti memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai luhur dan cita-cita idealistik yang lebih baik. Sedangkan mendidik adalah suatu aktivitas adi- luhung untuk menancapkan nilai-nilai dan cita-cita tersebut dalam kehidupan aktual kepribadian manusia (peserta didik). Karenanya, pendidikan merupakan bagian dari “idealisme” manusia pilihan yang rela menyibukkan diri memikirkan performance peserta didik, khususnya generasi muda, untuk membimbing dan menanamkan nilai-nilai luhur dalam kepribadian mereka, sehingga mereka dapat menemukan cita-cita tertinggi untuk masa depannya dan melembagakannya atau mentradisikannya dalam perilaku kehidupan.
Dalam perspektif itu, filsafat pendidikan merupakan terapan ilmu filsafat terhadap problema pendidikan. Atau, filsafat yang diterapkan dalam suatu usaha pemikiran (analisis filosofis) mengenai masalah pendidikan. Jadi, filsafat pendidikan sebagai ilmu yang hakikatnya merupakan jawaban atas pertanyaan- pertanyaan dalam dunia pendidikan.
Apakah kawasan kabupaten Sumenep juga membutuhkan pada suatu filsafat pendidikan, agar supaya pembangunan sektor pendidikan kawasan ini bisa mencapai hasil yang maksimal dan berdampak strategis – produktif terhadap pembangunan masyarakat kabupaten Sumenep pada umumnya ?
Jawabannya tentu ya ! Sebab filsafat pendidikan dalam kegiatannya secara normatif berfungsi sebagai berikut:
1. Merumuskan dasar dan tujuan pendidikan, konsep hakikat pendidikan dan hakikat manusia, serta kandungan moral pendidikan.
2. Merumuskan teori, bentuk, dan sistem pendidikan, yang meliputi agenda kepemimpinan, politik pendidikan, pola-pola akulturasi, dan peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara.
3. Merumuskan hubungan antara agama dan filsafat, filsafat dan pendidikan, pendidikan dan agama, serta teori pendidikan dan kebudayaan.
4. Khusus di kawasan kabupaten Sumenep, filsafat pendidikan berguna untuk menjinakkan tradisi-tradisi feodalistik berbasis paguyuban, ke arah tradisi holistik rasional yang berbasis patembayan.
Sebagaimana diketahui oleh para pengamat dan dirasakan oleh publik masyarakat Sumenep khususnya dan masyarakat Madura pada umumnya,bahwa nilai-nilai budaya masyarakat Madura berpijak pada semboyan “Bepak, Bebu, Guru, Rato” yang secara bebas dapat dimaknai begini: Jika ingin tenteram dan bermoral menjadi anggota masyarakat Madura hendaklah ia membiasakan diri bersikap patuh (sam’an wa tha’atan) pada apa pun yang dinasehatkan atau diperintahkan oleh ayah, ibu, guru, dan pemimpin pemerintahan.
Dalam prakteknya, semboyan di atas diapresiasi secara tanpa kontrol. Kalangan masyarakat terkesan cenderung “mengkultuskan” peranan keempat komponen dari semboyan di atas, bahwa mereka nyaris dipandang selalu benar dalam segala perilakunya, merekalah sang pemegang kebenaran dan penentu setiap pengambilan keputusan penting. Mereka tidak dipandang sebagai manusia biasa yang terkadang pernah keliru dan salah. Alhasil, apresiasi semacam itu bukannya diminimalisir oleh keempat komponen semboyan itu, namun justru mereka “keenakan” diposisikan “sakral” semacam itu. Pembiaran inilah yang pada taraf berikutnya menimbulkan tradisi feodalistik dan keningrat-ningratan, sehingga corak kultur masyarakatnya secara konstan bersifat paguyuban, yakni tidak terlihat bergeser kualitatif ke arah corak masyarakat patembayan.

Maka jika mau memikirkan konsep filosofis pendidikan kawasan Sumenep janganlah setengah-setengah. Jika mau serius, konsep itu bertitik tolak dari suatu “idealisme” gerakan perubahan (transformasi) sosial yang mengarah pada kerja bertahap merubah wawasan berpikir paguyuban ke arah berperilaku patembayan. Sebab dalam model masyarakat patembayan, konsep strategis pembangunan masyarakat bukan dicetuskan dari mitos kesaktian figur tertentu, tetapi dari suatu analisis konseptual sosiologis yang disuguhkan oleh korelasi ilmiah antara hipo- tesa tertentu dengan variabel data empirisnya di tengah masyarakat. Artinya, para elite penentu keputusan politis tentang pendidikan tidak sertamerta mengambil kebijakan sepihak tanpa terlebih dahulu melakukan sinkronisasi antara data yang disuguhkan dengan fakta empirisnya di tengah masyarakat luas.

C. Tawaran Rancang-bangun Pendidikan Kawasan Sumenep
Merancang Pendidikan Kawasan Sumenep
Semacam apakah kira-kira tawaran rancang-bangun pendidikan kawasan Sumenep ? Kiranya skema berikut bisa memberikan sedikit gambarannya.

Berbasis pada masyarakat yang otonom (Komite Sekolah), tidak mengagungkan relasi feodalistik, dan yang berdinamika patembayan
Berbasis pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Tradisi Umat Islam yang baik dan benar
Akal Budi yang Spiritualistik
Akal Pikir yang Metodologis

Kurikulum yang fleksibel
Kepemimpinan Yayasan

Dana cukup &
SDM Bermutu
Meneladani
Akhlak Nabi SAW

IKATAN ALUMNI ALMAMATER YG EFEKTIF
Evaluasi Terbuka, Riset Internal & Intensitas Public-Relation
Training Calon ALUMNI
Training
Guru & TU
Pembinaan Murid: Kognisi, Afeksi, dan Psiko- motorik
Managemen
Transparan

Seperti yang tergambar dalam skema di atas, terdapat 14 item langkah- langkah strategis perancangan pendidikan kawasan Sumenep.Yang ingin dibahas dalam artikel ini hanyalah mengenai pemberdayaan SDM dan soliditas alumni. Dua hal ini belum digarap serius oleh pada umumnya lembaga pendidikan kawasan Sumenep, khususnya oleh sekian banyak pondok pesantren. Padahal jika dua agenda ini disikapi serius dan dilaksanakan secara maksimal maka diduga kuat akan memberikan nilai amat bermakna bagi kelangsungan lembaga pendidikan yang dimaksud.
Mungkinkah dua agenda itu dilaksanakan oleh para pegiat pendidikan ? Tentu sangat mungkin. Akan tetapi bagi lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan yang dari sejak semula didirikan memang menyimpan motivasi fulus- fulusan atau materialistik, ditambah lagi basis ekonomi sang pimpinan yayasan tidak jelas dan kembang-kempis, maka diduga kuat managemen lembaga seperti ini akan memilih cara tidak transparan, penggunaan dana yayasan akan selalu bersifat rahasia, stakeholder pendidikan akan sulit menemukan akses mengetahui kondisi dana yayasan, karena yang boleh tahu hanya pimpinan yayasan dan bendaharanya. Yayasan model ini tentu akan cenderung amat feodalistik. Tak menutup kemungkinan yayasan pendidikan semacam ini merasa bebas membuat penambahan (mark-up) jumlah murid fiktif di setiap jenjang kelas agar supaya dana BOS yang diperoleh bisa lebih banyak.
C.1. Pemberdayaan SDM
Istilah SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia mulai dipopulerkan sejak zaman orde baru. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai daya yang kuat sehingga pantas diharapkan menjadi sumber produktivitas atau keberhasilan pembangunan. Demikian juga di sektor pendidikan, para pegiat bidang ini juga manusia biasa yang sama yang terdiri dari para pendidik (guru), jajaran elite pimpinan yayasan, kepala sekolah, para peserta didik (murid), para anggota komite sekolah, tenaga tata usaha, tenaga penjaga kantor, dan lain-lainnya. Seluruh stakeholder ini merupakan SDM yang sama pentingnya dalam menyelenggarakan program pendidikan, proses belajar mengajar, dan lainnya.
Jika mereka dipandang sebagai SDM yang potensial, lalu siapa yang paling pantas memberdayakan mereka ? Apakah struktur dan jajaran elite pemimpin di tingkat yayasan lembaga pendidikan tidak usah diberdayakan ? Siapa yang akan memberdayakan elite itu ?
Dalam skema di atas, item kepemimpinan yayasan menempati posisi yang penting dalam menjalankan managemen pendidikan. Idealnya, merekalah yang terlebih dulu memberdayakan dirinya sendiri melalui pembelajaran otodidak yang berbasis mental sikap tawadhu’ (rendah hati), sehingga jika sekian referensi buku atau kitab yang dibacanya berbenturan dengan kesulitan memahami, maka dirinya tidak sungkan atau tidak merasa gengsi untuk bertanya pada siapa pun yang dipandang cukup pintar, khususnya mengenai metode mengelola (managemen) yayasan yang membawahi para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan.
Jika para elite pemimpin yayasan tersebut sudah memberdayakan diri, berarti untuk memberdayakan SDM lainnya di bawahnya adalah tidak sulit. Sebab bagaimana mungkin para elite itu memberikan mau’idhah hasanah kepada orang lain (memberdayakan SDM), minimal agar menjadi seorang muslim/muslimah yang baik, sementara elite itu sendiri “belepotan” dengan sekian sikap dan perbuatan yang tidak bermoral. Sungguh hal itu sesuatu yang tak terbayangkan.
Memberdayakan orang lain pada hakikatnya merupakan perubahan budaya atau perubahan mental psikologis. Pemberdayaan tidak akan jalan jika seluruh budaya organisasi atau kelembagaan tidak berubah secara mendasar. Sedikit saja budaya yang mampu mendukung beberapa jenis perubahan dalam sikap dan praktek yang amat dibutuhkan bagi pemberdayaan yang efektif. Di samping perubahan budaya, banyak organisasi atau kelembagaan membutuhkan perubahan sistem juga. Sistem yang buruk dapat merusak proses pemberdayaan sebelum sempat berkembang. Sistem yang buruk biasanya karena memang dirasakan sangat menguntungkan secara sepihak bagi para elite yayasan yang kurang profesional (untuk tidak mengatakan kurang bermoral).
Lalu bagaimanakah tawaran (ide) minimal pemberdayaan SDM lembaga pendidikan dilakukan ? Tentu, paling tidak dalam setahun sekali mereka diberi kesempatan dilatih (di-training) sekian hari untuk meningkatkan wawasan berpikir yang untuk sementara sudah dipandang standart, padahal sebetulnya belum. Lalu apakah training semacam itu tidak memerlukan follow up di sesudahnya ? Tentu saja perlu. Sebab jika suatu training tidak diikuti suatu follow up (tindak lanjut) yang terencana maka dapat dikatakan training itu kurang bermakna bagi lembaga.
Pokok-pokok materi training untuk mereka bisa berbentuk skema berikut :

NO Yang di-
Training Materi Pokok
Training Wawasan lama yang keliru Wawasan baru yang benar
1 Tata
Usaha Administrasi
Perkantoran Administrasi kantor cuma pekerjaan teknis Administrasi kantor sbg kerja teknis konseptual

2
Guru Metode Mendidik / Mengajar Mengajar lebih urgen. Mendidik kurang perlu. Murid sbg “botol kosong” Mengajar & mendidik sbg kerja simultan & urgen. Murid dibikin kritis bertanya
3 Elite
OSIS Kepemimpinan
Keorganisasian Kader OSIS tak dipandang sbg calon pemimpin masa depan, cuma pelengkap. Kader OSIS = Pemimpin masa depan yg selalu perlu ditraining & kerja praktek.
4 Komite
Sekolah Keorganisasian
Pendidikan Anggota Komite Sekolah cuma sbg stempel formal yayasan, sbg alat saja. Anggota Komite Sekolah intens diajak ikut ambil keputusan strategis.
5 Calon
Alumni Almamater &
Masa Depan Calon alumni dipandang hanya butuh Ijazah. Mereka SDM yang harus diikutkan memikirkan kondisi almamaternya.

Hakikatnya training semacam itu mengarah pada urgensinya perubahan wawasan, dari wawasan berpikir lama yang keliru menuju ke wawasan berpikir baru yang benar, yakni lebih sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat yang semakin moderen dan kompetitif. Jika wawasan baru dalam skema di atas dijelaskan secara rinci, mungkin artikel ini akan bertutur panjang. Namun yang terasa menggelisahkan pikiran, mungkinkah ada lembaga pendidikan yang setuju menyelenggarakan training multiperan semacam itu, yang sekaligus 5 kategori stakeholder pendidikan semuanya perlu diikutsertakan dalam training ?
Untuk sementara, bisa jadi tawaran di atas masih terlalu idealis. Padahal jika melihat perkembangan lembaga pendidikan lain yang sudah “berani” pasang iklan di surat kabar untuk merekrut calon murid baru, maka perubahan wawasan berpikir mengenai pendidikan yang lebih bermutu dan kompetitif tidak boleh tidak harus dilakukan, khususnya oleh para elite pimpinan yayasannya terlebih dulu.
Peradaban zaman yang menantang di depan masyarakat kawasan Sumenep bukan peradaban tradisional lagi, tetapi peradaban yang menjadikan IT (Information Technology) sebagai instrumen penting pengambilan kebijakan. Lalu bagaimana bisa bernilai tawar tinggi di tengah peradaban itu jika para alumni lembaga pendidikan kawasan ini tidak mengerti urusan IT ?
Oleh karena itu peningkatan mutu pendidikan ke depan, kata Profesor Tilaar, harus mengutamakan pembermutuan sistem akademik,SDM yang mampu berpacu dan lari kencang dalam persaingan global, budaya mentalitas yang tahan uji dan beretos kerja yang handal, dan juga menguatkan nilai tawar para alumni di tengah pasar tenaga kerja nasional. Tanpa memperhatikan aspek-aspek ini akan sulitlah suatu lembaga pendidikan bertahan dan terus berkembang dengan baik.
C.2. Pembinaan Soliditas Alumni
Dapat dibayangkan, jika calon alumni lembaga-lembaga pendidikan di kawasan Sumenep pada umumnya sudah pernah ditraining sebelum mereka pulang ke tengah masyarakat, bisa dibayangkan, mereka akan membawa sederet wawasan berpikir ke-SDM-an yang berorientasi pada mutu kepribadian dan keahlian yang marketable. Mungkin sangat tidak banyak lembaga pendidikan yang memikirkan nilai lebih dari agenda penting ini. Nilai lebih itu adalah:
Pertama, stamina emosionalitas psikologis calon alumni terhadap kondisi kampus almamaternya tetap terjaga dengan baik, sehingga hubungan silaturrahmi mereka dengan para elite pimpinan kampus almamaternya selalu terjalin erat.
Kedua, potensi SDM mereka yang menjadi pegiat aneka sektor ekonomi dapat dimanfaatkan oleh kampus almamaternya untuk secara rutin memberikan infak yang pantas demi terjaganya stabilitas dana kampus almamaternya itu.
Ketiga, kuantitas alumni kampus almamater itu pada suatu saat nanti akan menjadi kekuatan bargaining yang bernilai tawar tinggi, bahkan jika besar jumlah- nya dapat disulap menjadi sebuah partai politik. Contohnya yang kini pernah diwacanakan adalah ikatan alumni Pesantren Hidayatullah di Kalimantan Timur yang sempat digagas menjadi partai politik, tetapi belum disepakati aklamatif oleh forum musyawarah nasional ikatan ini beberapa minggu yang lalu.
Keempat, para alumni yang tersebar luas dapat mengusulkan kepada para elite pimpinan kampus almamaternya untuk mendirikan kampus pendidikan filial, seperti telah berdirinya Pesantren Moderen Gontor 2, 3, 4, dan 5.
Demikian artikel ini ditulis. Kritikan dan saran konstruktif selalu diharapkan, khususnya demi merumuskan model ideal pendidikan di Sumenep ke depan.

 

 

 Back To Daftar Isi

Menuju Pendidikan Sumenep Berbasis Rasionalitas, Spiritualitas dan Profesionalitas.

Oleh : A. Ruhan S.Ag

(Penulis adalah Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Pamekasan (1993), kini menjadi Guru Agama di SMP Negeri 1 Gapura, mengajar di Madrasah Aliyah Nasy’atul Muta’allimin Gapura dan menjadi Kepala Sekolah MTs Nasy’atul Muta’allimin II Candi Dungkek )
Sejak zaman pra-Socrates, pendidikan menjadi salah satu hal yang vital dalam sejarah kehidupan manusia, mengingat pendidikan mampu membentuk karakter peradaban yang berkualitas. Kita memotret zaman kejayaan Yunani, Mesir Kuno, kejayaan Islam Abad X-XII, yang dibuktikan dengan munculnya intelektual Muslim kaliber Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, Ibnu Rusy dll. Pun juga peradaban Barat saat ini, dalam perjalanannya bercita-cita untuk menjadikan pendidikan sebagai jalan keluar dari berbagai kekerdilan, keterbelakangan, pesimisme dan seluruh “absurditas sistemik”. Cita-cita mereka bukan sekedar cita-cita hampa yang kebak onak oleh sekedar teori, tapi melainkan aplikasi dalam konteks masyarakat, yakni penemuan-penemuan teorinya mampu memberikan pencerahan (aufklarung) bagi paradigma berpikir masyarakat.
Kita bisa melihat di Cina sebelum 1550, akibat pendidikan yang maju, Cina dan kekaisaran Ottoman, lembaga politik Islam telah menjadi “adidaya” tingkat dunia di berbagai bidang, mulai dari politik, militer, ekonomi, sains dan budaya. Sampai 1550, keduanya berkuasa. Namun mulai 1550 sampai selanjutnya, keduanya stagnan, keduanya juga menjadi sangat melihat ke dalam (inward looking) dan defensif (Peter Drucker, 1993). Sementara di Barat, sekolah dipandang sebagai lembaga “progresif” dan mesin dari kemajuan di segala bidang seperti budaya, seni, literatur dan sains, di bidang ekonomi, politik dan militer, tak mengherankan saat ini jika Barat dalam dunia pendidikan dikenal sebagai agen perubahan (agent of change).
Mutu pendidikan dapat diukur dari banyaknya anak didik yang mampu memberikan solusi solutif bagi persoalan yang dihadapi masyarakat, bukan diukur dengan gedung yang megah, dan pakaian yang rapi, meminjam bahasanya Poulu Freire (1921-1997), sekolah kemudian menjadi “kepitalisme yang licik” yang menindas masyarakat. Karena itu kritik keras terhadap lembaga pendidikan pernah disampaikan oleh Ivan Illich yang menyarankan agar lembaga pendidikan di dunia ketiga, termasuk Indonesia lebih baik dibubarkan saja sebab lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) di dunia ketiga hanya menjadi agen-agen resmi bagi langgengnya sistem hegemonik yang mengabdi pada status quo dan kurikulum yang disajikan tidak mampu mendorong upaya pencerdasan sosial.
Di Inggris misalnya, kita lihat perkembangan Universitas Edinburg dan Birmingham yang terkenal dalam penelitian eksakta, oleh karena anggaran untuk penelitian menunjukkan ranking tinggi dibandingkan Oxford dan Cambridge. Sedangkan Oxford dan Cambridge (dua universitas tua ini) juga memiliki ciri tersendiri akan tradisi intelektual yang melahirkan para pemimpin dunia seperti Thatcher atau Benazir Bhutto. Sementara London School banyak melahirkan tokoh-tokoh teoritisi yang berpengaruh di tingkat internasional dan universitas tak terkenal seperti Warwick ternyata paling unggul di bidang manajemen sehingga dengan satu fakultas saja namanya harum di manca negara. Dan Bristol terkenal dengan teknologi ruang angkasa juga Edinburg University sangat handal dalam kajian agama Islam (Asep Setiawan, 2007).
Pertanyaannya kemudian, dari kampus-kampus yang lulusannya sudah dianggap kualifaet, adakah lembaga pendidikan yang memberikan pengaruh dan perubahan dominan di jantung masyarakat? Pertanyaan ini akan memberikan jawaban bagi persoalan masyarakat modernitas, di mana lembaga pendidikan diseeting untuk mencetak kecerdasan rasional belaka, manusia modern dicetak untuk menjadi mesin bagi kehidupan, guru-guru bukan menjadi pendidik, tetapi sebagai pekerja pendidikan, para siswa hanya menjalani rutinitas saja, orang tua sebagai motivator telah berubah pikiran dan menganggap sekolah atau pendidikan sebagai “gaya hidup” (life style), menyekolahkan anaknya, memilih lembaga pendidikan mahal, hanya karena takut dianggap sebagai orang yang tidak mampu, semata-mata mengejar tren kekinian belaka: absurd.
Kenyataan ini sangat meresahkan pikiran kita karena lembaga pendidikan yang bermutu tetap menjadi tujuan setiap peserta didik, apalagi disediakan fasilitas yang lengkap dan mendukung lulusan yang berkualitas sering didamba oleh masyarakat meski disadari kemajuan peserta didik tergantung pada subyek peserta didik itu sendiri, sejauh mana kehausan mereka terhadap pengetahuan, sejauh itu pula pengetahuan yang akan mereka dapatkan.
Formalisme Pendidikan
Zaman modern ini telah menggeser “formalitas” pendidikan menjadi “formalisme” yang seolah-olah tanpa dunia formal manusia tak dapat hidup nyaman, siiring kekuatan struktur dan rasionalitas sepenuhnya menguasai tempurung kepala manusia. Barangkali kita perlu mengenang penyesalan Einstein ketika mengatakan seandainya saya tahu bahwa dengan kehebatan atom, hanya untuk meluluhlantakkan manusia yang satu terhadap manusia yang lain, maka niscaya saya tak akan pernah memikirkannya. Lelaki botak yang berhasil mencetuskan anti tesa terhadap penemuan Newton ini mengalami titik kulminasi penyesalan di akhir hayatnya, setelah penemuan-penemuannya terbukti hanya bermanfaat untuk memperkaya senjata-senjata atom bagi negara-negara maju yang kemudian dimanfaatkan untuk menginvasi negara “kecil”.
Formalisme kini menjadi paham yang melekat dalam kerangka berpikir masyarakat, jikalau anak-anak mereka tak disekolahkan di lembaga-lembaga formal seolah-olah mereka telah “murtad” pendidikan, masa depan anaknya akan suram. Hal itu terjadi karena stigma yang menggurita dalam masyarakat masa kini berorientasi pada dunia kerja, jurusan-jurusan yang terstigmatisasi oleh perkembangan modernitas seolah dapat diharapkan menciptakan dunia kerja yang dapat memberikan hasil atau membuat mereka sejahtera dan cerah masa depannya. Tidak! Pandangan itu hanya semacam “over paradgm” masyarakat yang dibentuk oleh struktur. Para pemikir strukturalisme yang dimanfaatkan oleh negara untuk membuat konsep-konsep pendidikan kadang juga tak melihat kondisi masyarakatnya, apakah masyarakat mampu menerima pemikiran mereka? Atau layakkah sistem pendidikan tersebut dikembangkan di negara berkembang? Hanya saja setelah disekolahkan di kampus-kampus kelas dunia, mereka mentransfer teori-teori dari luar negeri secara mentah yang pada hakikatnya belum layak diterapkan di Indonesia.
Buktinya, pergantian sistem pendidikan yang terjadi setiap periode cukup membingungkan para pendidik, sebab mereka merasa belum berhasil melaksanakan satu sistem lama kemudian disusul oleh sistem baru yang juga belum tentu kontribusinya, mempelajari pengalaman, saya pribadi terkadang muncul sifat skeptis pada suasana pendidikan di negara kita ini, melihat kenyataan kerja rasionalitas lebih dikedepankan daripada yang lainnya, asalkan logis menurut akal pikiran, tetapi menurut perasaan dan hati nurani masih diragukan, karena melihat kenyataan sosial masih lemah.
Untuk menuju pendidikan kritis transformatif dan massif, lembaga pendidikan kita membutuhkan pematangan di wilayah konsep serta memiliki sistem yang mandiri, artinya tidak selalu mengacu pada konsep pendidikan nasional yang plin-plan, yang sebetulnya mereka juga “menjiplak” dari pendidikan luar negeri. Ironisnya, konsep pendidikan di negara kita selalu gonta-ganti setiap ganti pejabat, padahal konsep yang pertama belum sepenuhnya berjalan lancar di lapangan, karena orang yang menggagas sudah keluar, maka pejabat yang baru dengan senang hati mencari konsep lainnya agar ia dielu-elukan sebagai “konseptor pendidikan”.
Semenjak digulirkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku 1 Januari 2001, wacana desentralisasi pemerintahan ramai dikaji, pendidikan termasuk bidang yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi berharap akan permasalahan pendidikan yang berkenaan dengan mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan menejemen dapat terpecahkan oleh daerah yang bersangkutan, sebab disadari di masing-masing kabupaten pasti mengalami persoalan pendidikan yang berbeda, dan kemungkinan daerah akan mampu mengatasi berbagai persoalan yang menimpa pendidikan kita.
Sumenep sebagai daerah yang didominasi oleh pendidikan pesantren akan berbeda dengan kota Yogyakarta, Malang, Bandung yang memiliki banyak kampus, pun juga berbeda dengan Surabaya sebagai daerah industrial, berbeda dengan Jakarta sebagai pusat kekuasaan. Namun yang terpenting, pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten, desentralisasi pendidikan untuk mencapai otonomi pendidikan yang sesungguhnya harus sampai pada tingkat sekolah secara individual (Nurcholis, 2001: 45)
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) adalah salah satu langkah awal desentralisasi pendidikan menuju otonomi pendidikan, banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang cocok dengan kondisi negeri ini. Namun jarang sekali yang menyinggung masalah isi (content) yang tak lain merupakan hakikat desentralisasi itu sendiri yakni “apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan bukan aturan-aturannya (regulation), sebab aturan itu sudah berkenaan dengan masing-masing sekolah.
Reformasi pendidikan di banyak negara dimulai pada dekade 1980-an. Banyak sekolah di Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang berhasil menerapkan desentralisasi pendidikan dengan model MBS. Malalui MBS sekolah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah. Tapi marilah kita melihat kenyataan di Indonesia, otonomi pendidikan yang sampai saat ini masih diperjuangkan semoga mendapatkan solusi solutif yang dapat memberikan pencerahan bagi pendidikan kita, semoga kapitalisme, “calo”isme tidak terus menerus masuk atau bahkan menguasai lembaga-lembaga pendidikan sehingga pendidikan menjadi perdagangan atau aset untuk mencapai kepentingan personal.
Kita berharap dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga non-struktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat dan murid. Menurut Wohlstetter dan Mohrman (1993) terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan, pertama, kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah, sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personnel dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemberhentian kepala sekolah, guru dan staf.
Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumberdaya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi : keterampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizational knowledge). Keterampilan kelompok diantaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterampilan berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespon perubahan.
Ketiga, hakikat lain yang harus didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder. Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Keempat, penghargaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa berupa fisik maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan penataran. Dengan mendesentralisasikan empat bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik.
Grand Desain
Kita selalu dikagetkan dengan berita-berita dibeberapa mass media tentang munculnya “caloisme” pendidikan baik yang bergeming di pintu gerbang sekolah-sekolah maju (favorit) maupun di instansi pendidikan justeru membuat tradisi pendidikan kita semakin terbelakang. Para orang tua yang tidak sabar dengan administrasi yang sulit banyak memanfaatkan “jalur belakang” dengan setumpuk upeti yang diberikan pada calo-calo pendidikan, karena baginya sekolah yang maju bukan karena fasilitas yang lengkap, bukan karena lulusannya banyak yang handal, tetapi hanya karena trend dan gaya hidup.
Ironisnya, kalangan oknum poengelola lembaga pendidikpun menerima dengan lapang dada atas upeti “nepotis” itu dengan alasan membantu dan sekedar membalas jasa. Kapitalisasi pendidikan semacam itu sebaiknya diakhiri, karena sangat merugikan masyarakat yang mempunyai cita-cita tinggi dan mulya untuk menyekolahkan anaknya tetapi tidak memiliki kapital lebih selain untuk hidup. Kita memahami bahwa pendidikan tidak hanya untuk sekelompok orang berduit, melainkan pendidikan untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Kalau kita membaca media, banyak persoalan yang menimpa pendidikan kita, diantarannya adalah “nepotisme” yang telah menjadi sebuah sistem yakni kasus yang telah menjadi rahasia umum di sekolah-sekolah di Indonesia, setiap pelaksanaan ujian nasional (UN) justeru banyak terjadi permbocoran soal-soal UN, dan banyak cara yang dilalkukan demi untuk menutupi kelemahan sebuah lembaga yang kualitasnya kurang baik dan justeru mencederai nilai spiritualitas itu sendiri. Tentu kita berharap pengalaman itu tidak terjadi di Kabupaten Sumenep.
Adalah sebuah sinyalemen yang negatif bagi pendidikan di Indonesia bila tradisi “nepotis” terus menggurita dalam masyarakat, bukan hanya kegagalan secara spiritualitas karena tidak jujur, tapi juga akan melemahkan perkembangan berpikir, melemahkan sensitifitas menjadi ilmuan yang mardlatillah. Oleh karena itu, membangun hubungan yang harmonis dengan berbagai pihak merupakan sebuah keniscayaan agar pendidikan kita sesuai dengan cita-cita bangsa.
Pimpinan sekolah ( khususnya kepala sekolah dan pembantunya) setidaknya memberikan sumbangsih yang cukup pada sekolah, tidak mengartikan sekolah secara konvensional sebagai sebuah institusi dan tempat pengajaran bagi murid/siswa, tetapi sekolah sebagai basis pembinaan, pendidikan anak manusia menuju manusia yang utuh, shaleh secara akal dan perilaku. Disini kemudian, desain strategi dan keterampilan kepala sekolah sebagai pimpinan diuji. Bagaimana grand design tersebut disusun dan dijalankan, sehingga tercipta perilaku kerja yang komit terhadap institusi sekolah. Dengan menanamkan komitmen pada lingkungan institusi, memungkinkan anak buah (guru dan karyawan) memiliki perilaku kerja yang konsisten dan mendukung tercapainya visi dan misi yang diemban sekolah.
Komitmen bukan hanya terfokus pada fisik, misalnya dengan memelihara bangunan semata. Namun, juga mencurahkan pikiran, perhatian, dan dedikasinya yang terbaik bagi sekolah. Kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan komitmen institusi pada subjek-subjek yang ada didalamnya akan mudah menimbulkan ketidakpuasan. Maka, bukan hal aneh bila kemudian dunia pendidikan sering kali diwarnai dengan berbagai masalah seperti demo dan pemogokan. Ada baiknya kita menengok filosofi semut, dengan badan dan kaki-kakinya yang mungil, mereka bisa sampai ke tujuan dan membawa pulang sesuatu untuk bisa dinikmati. Tak hanya untuk sang ratu semut, tetapi untuk semua anggota koloni dan bayi-bayi semut. Dengan perjalanan yang jauh dan melewati berbagai rintangan, seolah mereka sangat teroganisasi, berdisiplin, dan ada semangat rela berkorban.
Menggagas Masa Depan
Dari berbagai kondisi yang prihatinkan itu, marilah kita merenung bersama agar kondisi pendidikan tetap masif populis dan sesuai cita-cita bangsa, kemajuan sebuah negara tergantung pada sejauh mana massifitas pendidikannya sehingga detak jantung pendidikan menjadi puncak nyawa negara. Bangsa Indonesia yang didirikan di bumi nusantara, didirikan di atas komitmen persatuan dan kesatuan, janganlah dipecah oleh berbagai kepentingan kelompok maupun personal sebagai acuan perjuangan melawan penjajahan, baik penjajahan secara interventif dari berbagai negara di dunia maupun penjajahan ideologi yang berupa sosialisme, kapitalisme dan imperealisme.
Untuk itu, ada tiga varian penting yang harus dijalankan dalam sebuah sistem pendidikan agar cita-cita pendidikan sesuai dengan cita-cita bangsa yang mulya. Pertama, Rasionalitas (rasionality). Rasionalitas dimainkan sebagai media berpikir, untuk mengolah data-data yang tersimpan dalam file otak yang diserap dari pengalaman, bacaan maupun dari panca indera. Otak mampu bekerja secara maksimal untuk mencapai kebutuhan rasional. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada yang dielukan oleh bapak rasionalisme Rane Descartes merupakan bukti kemerdekaaan rasional sehingga dengan ungkapan itu banyak kalangan ilmuan yang menjadikan ungkapan itu sebagai rujukan hidupnya. Namun yang perlu diingat bila manusia hanya menjalankan rasionalitas belaka, maka mereka akan mengalami satu titik kejenuhan.
Menciptakan ruang yang canggih dalam kekuatan rasionalitas justeru merupakan salah satu cita-cita bangsa sebagai upaya untuk bersaing dengan masyarakat dunia, namun kekuatan rasionalitas masih belum lengkap kecuali ditambah dengan yang Kedua, Spiritualitas (spirituality). Disamping sebagai makhluk rasional, manusia juga makhluk spiritual yang dalam gagasan kuno disebut sebagai makhluk dualisme yakni yang memiliki dua varian penting, jasmani dan rohani. Belakangan ini banyak siswa yang cerdas secara rasional namun lemah secara spiritual, sehingga membuat mereka terjangkit minum-minuman keras, hamil di luar nikah, bayi-bayi dibuang di tong-tong sampah. Kecerdasan rasional harus dibarengi kecerdasan spiritual.
Menurut hemat saya, dua varian penting di atas telah berkembang dalam pendidikan di Sumenep, apalagi pendidikan di pondok pesantren. Pengembangan rasionalitas yang bertumpu pada sekolah-sekolah formal dan pengembangan spiritual banyak didirikan lembaga-lembaga diniyah yang mengajari para siswa/santri agar berkelakukan sesuai dengan norma-norma agama, norma spiritual sebagai umat manusia yang berkenaan dengan tauhid.
Sebelum isu Intektual Quition, Emotional Qution dan Spiritual Quition bergulir ke permukaan, pendidikan di Kabupaten Sumenep sudah mengalami terlebih dahulu, utamanya di pesantren-pesantren. Namun sayangnya, sampai saat ini pendidikan yang berbasis rasional dan spiritual di pesantren masih belum membawa perubahan dominan bagi masyarakat Sumenep sendiri, entah sistem mana yang “salah”? Apakah menejemen yang doktrinal atau pesantren cenderung eksklusive?
Dalam masyarakat tradisional Sumenep, partisipasi masyarakat terhadap lembaga pendidikan pesantren sangat menarik. Pendidikan pesantren telah menjadi lembaga yang berwibawa di jantung masyarakat, kepercayaan dan partisipasi masyarakat relatif tinggi, sumbangan baik secara tenaga, pikiran atau donasi dana tidak terlelu sulit didapat dari mereka . Namun semenjak kran demokrasi dibuka pada tahun 1999, juga berpengaruh pada paradigma berpikir masayarakat, semenjak para kiai pesantren turun ke arena partai politik, bantuan-bantuan pendidikan banyak terkucur, gedung-gedung megah berdiri atas bantuan pemerintah, lambat laun masyarakat seolah melepas wewenangnya sebagai donatur, mereka berpikir bahwa lembaga pendidikan masa kini sepenuhnya telah ditanggung oleh pemerintah, bahkan guru-guru di lembaga pendidikan dianggap telah banyak mendapat kucuran dana dari pemerintah sehingga masyarakat “cemburu” dan lambat laun pula menarik “enggan” untuk memberikan sumbangan terhadap lembaga pendidikan.
Menurut K.A. Dardiri Zubairi (2006) partisipasi masyarakat tersebut merupakan elan vital pendidikan, sebab beliau tidak yakin bantuan pemerintah akan terus menerus terkucur lancar, kalau suatu waktu pemerintah angkat tangan dalam artian tidak memberikan bantuan pada lembaga pendidikan (madrasah/pesantren), sementara kepercayaan dan partisipasi masyarakat semakin berkurang, justeru yang terjadi adalah dilematis akut bagi lembaga pendidikan, inilah yang tidak kita inginkan.
Rasionalitas
Spiritualitas
Profesionalitas
Equilibrium

Ketiga, profesionalitas (profesionality). Dari dua kecerdasan (rasionalitas dan spiritualitas), diharap juga memiliki/memunculkan varian ketiga ini, sebab banyak lembaga pendidikan memenuhi dua kecerdasan namun jarang sekali memunculkan kader-kader profesional. Untuk menciptakan lingkungan profesional, dibutuhkan totalitas dari berbagai elemen yang mendukung lembaga pendidikan, diantaranya, siswa, guru, orang tua dan fasilitas di sekolah sehingga lingkungan pendidikan betul-betul mengeluarkan lulusan yang siap pakai.
Pondok Pesantren Sunan Drajad di Lamongan telah mengembangkan tiga varian di atas. Di lembaga itu didirikan sekolah kejuruan yang hidup di lingkungan pesantren, misalnya salah satu kejuruannya adalah kejuruan Ekonomi, siswa-siswanya dibuat berkelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga orang, mereka diberi pinjaman modal Rp 1.500.000,00,- untuk dikembangkan, guru mengajarkan teori dan murid yang mengembangkan lewat uang yang diberikan itu, setelah dua bulan, uang dikembalikan oleh siswa. Sebagian mendapatkan laba, sebagian mengalami kerugian, namun dari pengalaman siswa-siswa itu kemudian diadakan analisa secara detail, mengapa diantara mereka ada yang rugi dan sebagian yang lain mendapat laba? Bagaimana kemampuan siswa membaca pasar?
Lembaga pendidikan di Sumenep belakangan ini setidaknya sudah didesaign sedemikian rupa agar kompetensinya dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan perekonomian masyarakat, pun juga bagi perkembangan pengetahuan masyarakat seiring informasi komunikasi semakin hari semakin menyeret masyarakat untuk semakin konsumtif. Artinya lulusan dari lembaga pendidikan, baik pendidikan pesantren dan pendidikan umum tidak menambah jumlah pengangguran.
Penutup
Ada pertanyaan besar bagi pendidikan di Indonsia pada umumnya, kita tahu bahwa pada proklamasi kemerdekaan, Indonesia memiliki 60 orang sarjana, namun dari 60 orang itu mereka mampu mengatasi persoalan bangsa, kini Indonesia sudah memiliki 60 juta sarjana, tapi mengapa Indonesia semakin terpuruk dan jumlah pengangguran semakin banyak? Wallahu a'lam.
Daftar Pustaka

Amin, Syaiful, Drs, Dedaktik Metodik: Mencapai Keberhasilan Pendidikan, Yogyakarta: PUSAKA, 1992.
Camus, Albert, Mite Sisifus, Jakarta: Gramedia, 2000.
Faruk HT, Dr. Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2003.
Freire, Paulo, Sekolah, Kapitalisme yang Licik, Yogyakarta : Lkis, 2003.
Muchlish Amrin, Ahmad, Penyair Muda Vs Penyair Tua, Jawa Pos, 23 Februari 2007
Ruhan, A. S.Ag, Kapitalisme Pendidikan Dan Good Government Pendidikan, Jawa Pos, edisi 27 Juli 2006
Russel, Bertand, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Wahyudin, Menuai pendidikan Berbasis Masyarakat, Pelita, edisi 17 januari 2007

 

 

 Back To Daftar Isi

STRATEGI PENDIDIKAN MASA DEPAN SUMENEP :

MENGGAGAS PARADIGMA PENDIDIKAN GLOBALISASI RELIGIUS ISLAMI

Oleh. Rusdi, A.Md

(Penulis lahir di Sumenep, 14 Oktober 1971. Alumni MA 1 An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep (1994) dan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (1997). Sementara karya-karya tulisnya pernah dipublikasikan Majalah ANANDA, Surabaya Post, MPA, Jawa Post, dan Banjarmasin Post)

PENDAHULUAN
Pendidikan, secara umum adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.
Pendidikan bukan hanya sebuah pengajaran yang berorientasi pada kecakapan individu teoritis (teoritis individual), akan tetapi pendidikan lebih ditekankan kepada individual practice. Mampu membawa diri beradaptasi dengan lingkungan, serta dapat memberikan kreatifitas yang bermakna terhadap diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar.
Islam sebagai agama yang paling banyak dianut di Kabupaten Sumenep, juga memberikan banyak estimasi stigma sehubungan dengan pendidikan secara umum. Rasulullah juga pernah bersabda ;
“ Menuntut ilmu adalah merupakan kewajiban pada setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan “
Allah Swt. Berfirman sehubungan dengan pentingnya pendidikan ;

“ Katakanlah, ‘ adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?’, sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran “.
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih berganti siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan daari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi ; sesungguhnya terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagu kaum yang memikirkan “ (QS :al-Baqarah : 164)

Korelasinya dengan pendidikan, beberapa ahli pendidikan memberikan pandangan konteksnya dengan dunia pendidikan secara umum :
John Milton, mengatakan bahwa pendidikan secara umum adalah individu yang mampu membentuk diri yang terampil, dengan kejujuran yang universal baik kepada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat sekitar, baik di kala damai maupun di kala perang. John Dewey, mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental, secara intelektual dan emosional, ke arah alam sesama manusia.
Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Mohammad Natsir, menjelaskan bahwa yang dinamakan pendidikan ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dalam arti sesungguhnya.
Dari beberapa paparan para ahli pendidikan di atas, sehubungan dengan pendidikan secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pendidikan dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan berkarya, berdikari serta mampu memberikan aksi dan reaksi yang bermakna terhadap individu, keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Dengan kata lain sebagaimana yang dikatakan oleh Indra Djati Sidi, dalam bukunya “ Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan “ yaitu menciptakan masyarakat “ madani “. Masyarkat madani (civil society) berarti berbicara tentang bagaimana anggota-anggota masyarakat menjadi well educated. Kondisi ini yang biasanya korelatif dengan tindakan-tindakan yang rasional, transparan, penuh estimasi, bermoral dan berwawasan jauh ke depan, sehingga mungkin saja, jika sudah demikian adanya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mudah dihasut, juga tidak gampang “ diperbudak “. Sebaliknya, masyarakat mempunyai bargaining position yang tinggi terhadap power of state, dan pada gilirannya masyarakat bisa menjadi balancing force bagi state yang cenderung sewenang-wenang.
Pada pendapat lain, masyarakat madani adalah masyarakat yang saling harga menghargai satu dengan yang lain, yang mengakui hak-hak asasi manusia, yang menghormati akan prestasi dari anggota sesuai dengan kemampuan yang dapat ditunjukkan bagi masyarakatnya (Tilaar, 1999).
Dalam makna yang lebih terfokus, pendidikan di lingkungan kita (baca : Sumenep), tentu menginginkan sebuah konsep pendidikan yang religius islami, sebuah format pendidikan Islam yang komprehensif. Hal ini berdasarkan kehidupan masyarakat Sumenep, yang secara umum beragam Islam dalam arti menyeluruh. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga-lembaga Islam baik yang formal maupun nonformal.
Dari karakteristik itulah, maka format pendidikan formal di Kabupaten Sumenep perlu dikaji ulang, guna menyelaraskan sistem pendidikan dengan lingkungan masyarakat sekitar.

A. BERORIENTASI PADA IPTEK
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitu pesat tidak bisa kita elakkan lagi. Saat ini kita tidak lagi dipusingkan oleh jauhnya jarak, karena kendaraan super cepat semisal pesawat atau jet sudah tersedia. Kita tidak lagi dibingungkan oleh jauhnya tempat, karena fasilaitas TV, hand phone (HP) dan internet telah tersebar dimana-mana. Jadi, jarak dan waktu bukan lagi sebuah persoalan karena fasilitas yang mempercepat berita atu informasi telah kita miliki.
Ilmu Pengetahuan yang merupakan terjemahan dari “ science “ adalah merupakan fakta, konsep-konsep, teori serta hukum-hukum yang diperoleh dengan konsep metode ilmiah. Dengan metode ilmiah kita dituntut untuk bersikap objektif, jujur, transparan, menerima saran dari orang lain serta mampu memberikan kehidupan yang normatif untuk menuangkan sebuah gagasan pragmatis-efektif.
Teknologi adalah terapan. Sebuah pengejawantahan dari ilmu pengetahuan, sehingga kaita dapat melakukan sebuah pekerjaan secara lebih baik, efektif dan efesien. Dengan teknologi kita bisa berbuat lebih bijak dan lebih sejahtera terhadap individu, masyarakat dan lingkungan.
Sehubungan dengan IPTEK, lebih jauh kita menelaah terhadap fasilitas sarana prasarana serta pada tindak pelayanannya. Terutama di sekolah-sekolah, sebagai tolok ukur dalam kesungguhan dan keseriusannya. Dari beberapa (kalau tidak semuanya) lembaga formal yang ada di wilayah dengan sebutan sumekar, berupa lambang kuda terbang, ini masih jauh dari harapan. Peralatan-peralatan yang ada di laboratorium IPA masih sangat minim, atau bahkan boleh di bilang tidak ada. Ini terjadi pada sekolah-sekolah negeri, lebih lagi di sekolah swasta, tentu lebih sangat memprihatinkan.
Sarana laboratorium IPA merupakan dasar yang paling prinsip dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jadi sangat mustahil kita mampu bersaing dengan negara-negara lain, jika sarana yang paling mendasar sekalipun kurang mendapat perhatian.
Agar urgensi pemahaman terhadap IPTEK (lab IPA) lebih survive, maka pelayanan terhadap fasilitas IPTEK, perlu perhatian secara lebih konsekuen. Hal ini memang tidak mudah apalagi bila dihubungkan dengan anggaran yang begitu mahal (benar-benar mahal ?). Namun dengan tekat dan semangat yang tinggi, cita-cita itu pasti kita raih.

B. MENUJU GURU PROFESIONAL
Profesi merupakan pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Guru juga merupan sebuah profesi. Oleh karena itu, maka menjadi seorang guru yang hal ini merupakan sebuah pilihan, harus kita lakukan dengan dengan semangat profesi. Namun untuk mencapai keahlian ini kita dihadapkan terhadap banyak persoalan. Terutama terkait dengan persoalan kesejahteraan yang kita dapatkan dari profesi kita sebagai guru. Namun demikian, kita telah meleburkan diri di dalam kancah dunia pendidikan. Oleh karena itu persoalan kesejahteraan yang tidak memadai harus dinomorduakan. Hal ini untuk menggairahkan rasa tanggung jawab terhadap profesi yang telah kita pilih.
A Sony Keraf (1991, 41) memaparkan ciri-ciri profesi sebagai berikut :
1) Adanya pengetahuan khusus terkait dengan profesi yang digelutinya, dalam hal ini sebagai calon pendidik jelas sudah mempunyai bekal yang dapat digunakan sebagai bahan untuk tatanan dalam sekolah, baik terkait dengan kegiatan belajar mengajar maupun dalam hubungannya dengan para teman sejawat dan para staf pendidik di sekolah.
2) Adanya kaidah dan standar moral yang tinggi, dalam arti adanya norma yang jelas dalam mengemban amanat sebagai pendidik, dalam percakapan sehari-hari dikatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Dalam pepatah jawa dikatakan guru adalah seorang yang digugu dan ditiru (dapat dicontoh dan diteladani). Untuk itu dalam berbuat dan bertingkah, baik terhadap sesama, atasan, maupun kepada para siswa hendaknya selalu mencerminkan keteladanan.
3) Pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Dalam paparan diatas dikatakan bahwa profesi luhur meletakkan kepentingan pribadinya dibawah kepentingan masyarakat. Dalam rangka ini ada suatu keinginan untuk mengabdikan jasa kepada masyarakat sebagai pengabdian tanpa pamrih, namun dalam perkembangannya timbul kecenderungan baru memperdagangkan jasa tersebut untuk memperoleh keuntungan. Seorang guru hendaknya harus tetap memegang amanat dalam upayanya untuk menghilangkan serta mengikis kebodohan.
4) Ada ijin khusus untuk bisa melaksanakan suatu profesi tersebut. Bagi seorang pendidik ijin tersebut dikeluarkan apabila yang bersangkutan benar-benar mampu untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan bidang yang digelutinya dalam hal ini berupa ijazah akta mengajar.
5) Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi dengan tujuan untuk menjaga keluhuran profesi tersebut, selain itu juga sebagai wahana untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan profesi yang digelutinya. Organisaai profesi bagi seorang pendidik dapat melalui ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) atau lainnya.
Pendapat lain mengetengahkan sehubungan dengan profesi, bahwa guru sebagai profesi menuntut adanya kemampuan administratif, merencanakan, melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana, serta mengevaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan. Sebagai guru yang profesional tentu kita dituntut untuk menunjukkan keprofesionalannya di dalam afektifitas dunia pendidikan.
Untuk mewujudkan guru profesional di wilayah Kabipaten Sumenep perlu adanya tekat dan semangat dari berbagai pihak yang terkait. Dalam hal ini mungkinkah pemerintah daerah Kabupaten Sumenep menfasilitasi semua aspek kebutuhan hidup bagi guru-guru yang ada di wilayah ini ? Di sinilah pemerintah kita diuji kelayakan kepemimpinan serta pengayomannya terhadap kemajuan lembaga pendidikan dimanapun dan dalam bentuk apapun. Jadi tidak ada perbedaan antara lembaga kepulauan maupun daratan, serta juga tak ada dikotomi antara lembaga pendidikan negeri maupun swasta, formal maupun nonformal, seimbang dan sama rata.

C. KURIKULUM KREATIF BERBASIS IMTAQ
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang tersusun dan sistematis yang diajarkan pada suatu lembaga pendidikan atau paerangkat mata kuliah mengenai bidang keahlian khusus. Kreatif adalah bermakna memiliki daya cipta atau kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang bernilai positif. Jadi, kurikulum kreatif adalah muatan-muatan perangkat pembelajaran yang meliputi : Analisis materi pelajaran (AMP), program tahunan maupun program semester, silabus serta sistem penilaian yang kooperatis praktis.
Kurikulum pendidikan Sumenep masa depan harus dikembangkan berdasarkan kompetensi dasar (competency-based curriculum). Dalam konsep ini, kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal yang harus dikuasai seorang peserta didik, setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan atau satu satuan pendidikan.
Berdasarkan sosio-kultural Kabupaten Sumenep yang mayoritas beragama Islam, maka pengembangan kurikulum juga ditekankan pada pengembangan Iman dan takwa. Kurikulum berbasis Iman dan Takwa, yang dalam istilah A. Wahid Hasan berbasis spiritual (SQ) adalah kurikulum pendidikan yang berdasarkan konsep-konsep pendidikan Islam. Pendidikan Islam menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya ; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya ; akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan menyiapkan manusia untuk hidup , baik dalam (damai) dan perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Materi pendidikan masa depan harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan zaman, globalisasi, berlandaskan IMTAQ dan perkembangan IPTEK yang sangat cepat. Karena itu, pelajaran ilmu-ilmu dasar, yaitu matematika dan IPA serta pendidikan moral dan etika menjadi inti pengembangan kurikulum di setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Ada beberapa indikator pengambangan kurikulum yang seharusnya menjadi perhatian serius oleh dinas pendidikan kabupaten Sumenep :
- Kurikulum pendidikan harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang sebagai dampak perkembangan teknologi dan tuntusan sosio-kultural (adat budaya, termasuk agama) masyarakat
- Kurikulum harus bersifat pedoman pokok (general guideline) kegiatan pembelajaran siswa
- Pengembangan kurikulum selayaknya dilakukan secara simultan dengan pengmbangan bahan ajar (buku dan lembaar kerja siswa) dan media atau alat pembelajaran
- Kurikulum pendidikan hendaknya berpatokan pada standar global/regional, berwawasan nasional dan dilaksanakan secara lokal
- Kurikulum pendidikan hendaknya merupakan satu kesatuan dan kesinambungan dengan satuan dan jenjang pendidikan di atasnya
- Pengembangan kurikulum bukan lagi menjadi otoritas pemerintah pusat, tetapi merupakan shared activity dengan pemerintah daerah, bahkan komunitas
- Pengembangan tidak diarahkan untuk menciptakan satu kurikulum tunggal yang diberlakukan untuk semua sekolah
- Kurikulum juga mesti memperhatikan pendidikan yang terjadi di keluarga dan komunitas/masyarakat.
- Kurikulum harus bersifat stimulus terhadap stigma sosio-agama masyarakat Sumenep, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.

Tetapi yang perlu diperhatikan dalam setiap strategi, konsep dan idiologi pendidikan Kabupaten Sumenep adalah keselarasan wacana praktis terhadap tujuan pendidikan yang kita inginkan. Sebab bagaimanapun, sebaik apaun kurikulumnya, variasi metodenya dan kelengkapan sarana prasaarananya tanpa ditunjang oleh profesionalisme guru yang memadai, tidak akan terjadi proses pembelajaran yang ideal, praktis dan representatif.

D. SISTEM PENDIDIKAN OBJEKTIF REPRESENTATIF
Seharusnya pendidikan masa depan Sumenep harus bersaifat objektif representatif, artinya sebuah konsep serta strategi pendidikan yang mampu mewakili semua kalangan. Kita tahu bahwa, masyarakat Sumenep, secara kultural, terdiri dari beragam kebiasaan yang harus menjadi perhatian serius. Oleh karena itu, pendidikan sumenep harus bersifat makro serta mewadahi setiap golongan yang ada.
Konsep community based education (pendidikan berbasis komunitas atau masyarakat) yang merupakan konsekwensi dari otonomi pendidikan dan sekolah, merupakan sebuah strategi yang harus diaktualisasikan dalam proses kegiatan pendidikan di Kabupaten Sumenep. Hal ini karena konsep pendidikan bermasyarakat ini dapat mencakup setiap lini komunitas masyarakat Sumenep. Jadi, persoalan selanjutnya adalah sebuah pertanyaan kritis yang dialamatkan ke Pemerintah Kabupaten Sumenep, adakah keberanian pemerintah daerah untuk menjadikan sebuah konsep strategi pendidikan sesuai dengan sosio-kultural, sosio-agama, sosio-pedagogis, sosio-politis, sosio-ekonomi, termasuk sosio-geografisnya.
Memahami pendidikan yang sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakat Sumenep, tentu saja Pemerintah Daerah (baca : Sumenep) harus mempunyai visi dan misi yang jelas. Sebab, realitas ini merupakan dasar yang fundamental untuk menciptakan tatanan kehidupan pendidikan yang survive pragmatis.
Sehubungan dengan hal tersebut, Gordon dan Jeannette Vos (The Leaning Revolution), merumuskan apa yang menjadi tujuan (visi dan misi) belajar :
1. Mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik. Keterampilan merupakan kecakapan praktis yang harus dimiliki oleh setiap individu guna menjalankan kehidupan hakiki, demi terciptanya kesejahteraan universal, baik kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar
2. Mengembangkan konseptual umum. Biasanya konsep-konsep, fakta, teori-teori yang terdapat pada sebuah materi pelajaran merupakan sebuah konsep umum, yang hal ini perlu dikembangkan oleh individu sesuai dengan pengetahuan keterampilan yang dimilikinya.
3. Mengembangkan kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan. Sikap, merupaka sebuah etika, etika adalah tingkah laku yang sesuai dengan kaidah dan norma kemasyarakatan. Jadi, dengan kemampuan mengembangkan sikap pribadi daharapkan sosial kemasyarakatannya (hablum minannas) dapat dipertanggungjawabkan.

E. STIMULUS PENDIDIKAN BERLANDASKAN MORAL
Sebuah keharusan bahwa landasan pendidikan Kabupaten Sumenep harus berdasarkan serta berlandaskan etika-moral. Sesuai dengan etika ketimuran, bahwa sikap kemasyarakatan harus diutamakan. Hal ini, karena akhlak adalah merupakan sikap awal sebagao cerminan terhadap tingkah laku dalam masyarakat. Demikian pun menjadi sebuah misi Rasulullah, bahwa beliau diutus untuk memperbaiki kebobrokan moral di tengah masyarakat jahiliyah.
“ Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia “
Pasal 31 UUD 1945, ayat 3 menegaskan ; “ Pemerintah mengusahakan dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara “.
Dengan memperhatikan konsep-konsep yuridis di atas dapat dikemukakan bahwa pendidikan diarahkan kepada mentalitas sikap terhadap kehidupan bermasyarakat. Jadi tidaklah berlebihan bila pemerintah kita harus mempunyai prinsip revolusif untuk mengetengahkan sebuah strategi pendidikan yang koprehensif.

KESIMPULAN
Paradigma pendidikan di Kabupaten Sumenep harus berdasarkan sosio-kultural yang terjadi di masyarakat. Hal ini harus mengacu kepada religiusitas masyarakat yang lebih mengarah kepada pendidikan Islam. Profesionalisme seorang guru harus ditekankan dalam rangka meningkatkan kemampuan keterampilan guru dengan variasi motode serta beragam kaidah pembelajaran yang sesuai dengan kultur pendidikan di lingkungan tempat mengajar.
Profil seorang guru :
1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang. Kepribadian merupakan sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional, karena kepribadian yang matang dan berkembang akan memberikan dampak yang sgnifikan terhadap anak didiknya. Kribadian matang berarti mampu mengendalikan emosional diri terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi, baik itu yang bersifat memaksa terhadap tindak laksana kebijaksanaan. Kepribadian berkembang memiliki arti bahwa guru bisa menularkan segala keterampilan yang dimiliki serta dapat beradaptasi terhadap kemungkinan-kemungkianan yang dapat berubah sesuai dengan kondisi zaman dan lingkungan sekitar tempat terjadinya proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
2) Memilki penguasaan ilmu yang kuat. Artinya memahami betul apa yang menjadi tanggung jawabnya sehubungan dengan proses pendidikan yang dimilki.
3) Memilki keterampilan untuk memotifasi siswa dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4) Mengembangkan profesi secara berkesinambungan. Profesi yang dimiliki harus dikembangkan secara terus-menerus, sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat sekitar yang ada.
Kita tahu bahwa Kabupaten Sumenep, sebagaimana diungkapkan dalam pendahuluan dari tulisan ini adalah mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Sementara integritas Pendidikan Agama (Islam) di sekolah-sekolah formal sangat tidak refresentatif. Hanya terdapat dua jam pelajaran dari keseluruhan rata-rata 36 jam pelajaran setiap pekan. Kondisi ini berarti bahwa pendidikan Agama Islam hanya sekitar 5,5 % dibandingkan dengan pendidikan umum. Kondisi ini tidak mencerminkan bahwa Kabupaten Sumenep dapat mengemban visi dan misi IMTAQ. Walaupun dengan alasan bahwa pendidikan agama bisa diintegrasikan pada setiap mata pelajaran, tetapi karena hal itu hanya sebatas formalitas belaka, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai konsensus untuk menerapkan Sumenep sebagai derah religius islami.
Di sinilah kemudian dipertanyakan secara kritis kebijakan Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten sumenep untuk merefleksikan keseimbangan antara Pendidikan Agama dengan Pendidikan Umum.
Di akhiar kesimpulan tulisan ini, kami ingin mengungkapakan sebuah stetmen yang diungkapkan oleh Billi P.S. Lim dalam bukunya yang berjudul Berani Gagal, “ Berikan saya 10 orang gagal yang memahami apa artinya kalah dan saya akan kembalikan kepada Anda 10 orang sukses sejati “.

*****
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1999)
Bunga Rampai : Menggagas Pendidikan Masa Depan, (Malang : FKIP Universitas Muhammadiyah, 2003)
Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta : Paramadina dan PT Logos Wacana Ilmu, 2001)
Lim, Billi P.S, Berani Gagal, (Jakarta : PT Pustaka Delapratasa, 1996)
Zainuddin, Din, Pendidikan Budi Pekerti Dalam Persepektif Islam, (Jakarta : al-Mawardi Prima, 2004)
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan : Edukasi Nomor 06 Tahun 2006
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan : Edukasi Nomor 07 Tahun 2007
Mimbar Pembangunan Agama, Nomor 238 Tahun 2006
Mimbar Pembangunan Agama, Nomor 237 Tahun 2006
Mimbar Pembangunan Agama, Nomor 235 Tahun 2006

 

 Back To Daftar Isi

WAWANCARA

Wawancara Drs. KH. Kamalil Ersyad
SDM Lemah, Inovasi Pendidikan Lambat

Sektor pendidikan sejak reformasi digulirkan telah mengalami perkembangan yang sangat berarti. Pengelolaan pendidikan, terutama di daerah, terus menjadi ukuran pembangunan, termasuk juga di Sumenep. Untuk memperbaiki masa depan pendidikan Sumenep, pemerintah pada setiap tahun selalu menaikkan anggaran. Akan tetapi, naiknya anggaran tersebut, belum optimal mampu memacu percepatan pembangunan pendidikan di Sumenep. Berikut hasil wawancara Mohammad Suhaidi RB, dengan Drs. K. Kamalil Ersyad, ketua Komisi D DPRD Sumenep dan Dr. Ida Ekawati, M.Pd, wakil ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep.

Dari tahun ketahun pendidikan Sumenep sudah mulai ada perkembangan, walaupun masih ada beberapa titik lemah. Menurut Bapak?
Kondisi pendidikan Sumenep harus dilihat secara obyektif. Karena ada pendidikan yang ditangani oleh pemerintah kabupaten, dan ini secara teknis dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan. Kemudian ada pendidikan swasta, yaitu pendidikan yang dikelola di bawah pondok pesantren, dan ada pula pendidikan agama yang independen, yang tidak berada di bawah naungan pesantren

Bisa dijelaskan secara lebih umum menyangkut pendidikan di Sumenep?
Secara umum, sebetulnya pendidikan di kabupaten Sumenep masih tetap berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, hanya saja nuansa inovasinya masih agak lambat

Apa penyebab utamanya?

Nuansa inovasi itu muncul dari beberapa sebab, antara lain SDM. Jadi, SDM yang menangani pendidikan. Kemudian pada orientasi pelaksanaan pendidikan, bukan hanya sekedar hanya tuntutan bekerja, tetapi juga harus mengacu pada filosofi pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu terciptanya masyarakat yang cerdas dan ada pembaharuan-pembaharuan, terutama pada sisi kultur, karena salah satu esensi dari tujuan pelaksanaan pendidikan adalah mewariskan kultur dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, untuk inovasi pendidikan Sumenep, masih lambat karena masalah SDM orang-orang yang menangani pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah kabupaten Sumenep. Lalu, setelah itu kite harus melihatnya dari sisi kebijakan. Yaitu, kebijakan pemerintah khususnya mengenai masalah pendidikan, dari tahun ke tahun, dalam pembangunan Sumenep menempati pada posisi yang prioritas, setelah kesehatan dan ekonomi. Hanya saja, penempatan superioritas pendididkan di Sumenep cenderung monoton.

Manonoton maksudnya?
Kembali pada itu tadi, inovasi-inovasinya masih terlambat. Di Sumenep belum ada pendidikan yang bertaraf internasional, tidak seperti kabupaten-kabupaten lain yang telah mulai muncul. Kita melihatnya obyektif saja.

Untuk mengantisipasi hal ini ke depan?
Dari pengelola pendidikan itu sendiri, yang penting ada semacam perombakan terhadap orang-orang yang menangani pendidikan. Artinya, orang-orang yang menangani pendidikan ini adalah orang yang mempunyai visi pendidikan. Visi pendidikan yang betul-betul dibutuhkan oleh dunia.

Apakah berarti visi pendidikan Sumenep belum jelas?
Visinya sebetulnya sudah jelas.

Mungkin pelaksananya yang tidak bisa menerjemahkan?
Ya, itulah yang dimaksud. Makanya kita harus melihat SDM-nya. Ini harus diakui yang memperlambat adanya inovasi pendidikan Sumenep

Apakah inovasi yang lambat terse but juga akibat faktor anggaran pendidikan?
Anggaran menurut saya merupakan suatu kebijakan. Satu sisi kebijakan pada anggaran. Anggaran sebetulnya sulit, tetapi bukan sesuatu faktor yang sangat fatal untuk menciptakan inovasi. Untuk itu, setiap tahun anggaran (anggaran pendidikan Sumenep, red) selalu naik, tidak pernah turun.

Walaupun perkembangannya sangat lambat?Ke depan kira-kira apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki pendidikan ini?
Sebetulnya Sumenep sudah harus mempunyai format pendidikan. Kondisi pendidikan Sumenep sudah harus mampu mengimbangi perkembangan zaman. Contoh, pelaksanaan pendidikan di Sumenep, konteksnya harus sesuai dengan kondisi alam yang ada di Sumenep. Umpamanya Sumenep sudah diketahui oleh publik memiliki potensi kelautan, seharusnya ada inovasi pendidikan yang mengarah pada kebutuhan potensi tersebut. Selama ini kita biasa-biasa saja. Stressing pelaksanaan pendidikan untuk menciptakan mainstream pendidikan yang bagus di Sumenep ini masih hambar, untuk mengatakan tidak ada.

Kongkretnya desain pendidikan Sumenep ini bagaimana?
Inti dari pemikiran saya adalah terletak pada beberapa hal, antara lain pertama, adanya keberanian pemerintah untuk menciptakan sekolah yang bisa meningkatkan taraf kualitasnya. Kemudian untuk membimbing apakah potensi kelautan atau keterampilan yang lain, kita harus melihatnya dengan cermat, kira-kira apa yang terpenting untuk kabupaten Sumenep yang bisa dikembangkan melalui lembaga pendidikan. Kedua, kalau memang pendidikan Sumenep bertujuan untuk menciptakan orang-orang yang mampu dalam bidang bahasa, misalnya bahasa Arab. Hal itu juga sudah harus digarap. Selama ini kita memang mengalami kesulitan, karena memang tidak spesifik dalam menangani masalah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kita. Atau juga kita menginginkan adanya pendidikan yang spesifik pada bidang eksak. Kita harus spesifik. Kita jangan hanya bangga karena ada siswa Sumenep yang lolos ke Ukraina. Walaupun kita sebetulnya harus bangga, tetapi tidak terlalu bangga dengan itu. Karena garapannya masih bukan lembaga, tetapi hanya sekedar person. Yang harus dikembangkan adalah bagaimana siswa-siwa lembaga pendidikan sekolah benar-benar berkualitas. Dan ini harus ditangani secara spesifik.

Ada asumsi di masyarakat, pembangunan pendidikan Sumenep lebih pada pembangunan fisik, bukan pada kualitas?
Itu inventarisasi dari kebutuhan pendidikan, jadi jangan apriori. Karena memang kondisi sekolah di Sumenep, lebih dari tiga ratus pembangunan fisiknya yang rusuk. Itu tidak boleh dibiarkan. Kemudian, di Sumenep belum ada spesifikasi lembaga pendidikan, misalnya seperti SMA atau SMP masih biasa-biasa saja. Belum ada spesifikasi pendidikan pemerintah untuk menciptakan lembaga pendidikan yang memang sesuai dengan konteks potensi-potensi alam di kabupaten Sumenep.
Oleh karena itu, pembangunan fisik merupakan kebutuhan dan inventarisasi. Jadi, ada kebutuhan fisik, ada kegiatan belajar mengajar, ada perangkat-perangkat yang harus diperbaiki. Jadi sangat terkait, misalnya perpustakaan juga harus kita kembangkan, karena pendidikan harus bisa mencukupi apa yang dibutuhkan oleh lembaga tersebut. Agar kita bisa mengukur mainstream pendidikan, maka pelaksana-pelaksana pendidikan, terutama orang-orang yang ada di Dinas Pendidikan, terdiri dari orang-orang yang mengerti tentang pendidikan, visi pendidikan sudah dipahami, bukan hanya sekedar meletakkan orang di Dinas Pendidikan, tapi orang yang mempunyai visi dalam dunia pendidikan. Jadi bukan hanya sebagai pekerja, tetapi ia yang punyai visi pendidikan, karena kelemahan pendidikan Sumenep memang harus diakui terletak pada masalah ini. Nemanya memang lembaga pendidikan, tetapi di dalamnya terdiri dari orang-orang yang belum mumpuni untuk berbicara tentang pendidikan. Ini aneh sekali!

Bagaimana sikap legislatif terkait dengan masalah itu?
Sikap legislatif, karena hak legislatif adalah hak penganggaran, pengawasan, dan legislasi, jadi kami tidak terlalu jauh memformat orang-orang di Dinas Pendidikan. Karena hal itu terkait dengan good will pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati.

Ada juga anggapan pendidikan Sumenep masih memarjinalisasi pendidikan di kepulauan?
Sebenarnya menurut saya bukan marjinalisasi, tetapi karena persoalan geografis saja. Kita akan tetap berusaha menciptakan keseimbangan. Maksimalisasi untuk menciptakan kesimbangan, karena terkait dengan kondisi teritorial, harus berlayar sekian jam ke pulau-pulau kecil, jadi agak terhambat. Dan itu bukan berarti dimarjinalkan, tetapi karena kondisi geografis inilah yang memberikan kesan dimarjinal, padahal kondisi APBD sudah seimbang.

Tapi, ada kabar pelakasanaan pendidikan di kepulauan memang tidak maksimal, seperti tenaga pengajar, fasilitas maupun proses pembelajaran?


Jadi kita omong kosong berbicara mainstream pendidikan, kalau para pelaksana pendidikan tidak memahami tentang manajemen pendidikan. Taruhlah misalnya, persoalan guru atau tenaga pengajar di kepulauan yang nakal, tetap saja dibiarkan.

Apakah tidak penting untuk mendesain secara khusus pendidikan kepulauan?

Sebetulnya tidak penting, karena hal itu bisa jadi hanya akan menjadi dikotomi antara kepulauan dan daratan. Kita harus tetap melihatnya pada manajemen penanganan pendidikan. Kita tidak usah mengkontraskan antara pendidikan kepulauan dan daratan. Kita sudah harus lebih makro berfikir. Kita melihat kelemahan pendiikan Sumenep, lebih pada manajemen penanganan pendidikan.

Ada pesan khusus untuk pengelola pendidikana Sumenep?

Yang terpenting untuk Sumenep adalah manajemen pendidikan yang baik, karena anggaran tidak terlalu sulit. Kalau manajemen pendidikan lemah, walaupun anggaran besar, itu bisa terbuang sia-sia. Menurut saya yang terpenting adalah pembenahan manajemen pendidikan.

Wawancara Dr. Ida Ekawati
Pendidikan Harus Lebih Merata

Bagaimana Ibu melihat perkembangan pembangunan pendidikan Sumenep?
Kalau dilihat dari pemerataan pendidikan dan kualitas pendidikan di Sumenep, masih sangat banyak pekerjaan yang harus dibenahi untuk menuju pendidikan Sumenep yang lebih baik, sehingga bisa sesuai dengan standar pendidikan nasional

Sederhananya ibu melihat pendidikan Sumenep masih belum berkualitas?
Masih. Kalau kita bandingkan pendidikan di kota-kota besar, pendidikan kita masih jauh dan perlu diperbaiki. Tapi yang sangat penting sebenarnya adalah pemerataan pendidikan. Karena kalau pemerataan pendidikan ini sudah dicapai, kita ke depan hanya tinggal memikirkan tentang kualitas pendidikannya. Bukan berarti kita hanya memperbaiki pemerataannya saja, tetapi juga memperbaiki kualitasnya. Ini harus kita kerjakan secara bersama-sama.

Ibu melihat pendidikan Sumenep masih belum merata?
Kalau kita melihat, wajar dikdas saja belum tuntas di Sumenep. Di daerah-daerah terpencil, apakah semua penduduk sudah bisa mengenyam pendidikan? Nah, penduduk terpencil inilah yang harus kita fikirkan bagaimana ada pemerataan pendidikan kepada mereka. Contohnya, sekolah satu atap dan SMP terbuka, itu masih sangat terbatas di Sumenep, kecuali hanya di beberapa kecamatan saja. Selain itu, persoalan mutu pendidikan kita juga belum merata.

Menurut Ibu apa kira-kira yang menjadi penghambat kualitas pendidikan Sumenep?
Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi. Sekarang kita harus bekerja bagaimana anggaran bisa sesuai dengan skala standar nasional pendidikan, yaitu PP 19 tahun 2005, sehingga kita lebih cepat meningkatkan kualitas pendidikan di Sumenep.

Bagaimana dengan SDM pengelola pendidikan. Apa juga menjadi faktor penghambat?
Sebenarnya memang banyak faktor, selain anggaran, SDM juga termasuk. Kalau kita lihat sekarang tampaknya masih jauh. Kita bisa melihat pada masalah tenaga kependidikan, kalau menurut UU nomor 14 2005 tentang guru dan dosen, masih sangat jauh. Sudah berapa persen yang sudah S1 misalnya? Ini masih sangat jauh, sehingga perlu ditingkatkan lagi tingkat pendidikan para guru tersebut. Kemudian dari standar prosesnya, ini juga perlu diperbaiki ke depan. Kemudian standar pengelolaan. Dalam masalah standar pengelolaan, karena telah ada otonomi sekolah, maka manajemennya sudah harus berbasis sekolah. Tapi, hal itu belum dilaksanakan, karena ternyata masih banyak sekolah yang belum melaksanakan MBS. Dengan otonomi daerah, kita sudah punya otonomi sekolah, ini yang seharusnya kita manfaatkan untuk memperbaiki pendidikan ke depan.

Kalau SDM pengelola kebijakan, misalnya seperti pemerintah?
Kalau masalah itu, saya kira perlu adanya suatu komitmen.

Maksudnya bagaimana?
Komitmen dari pengambil kebijakan. Tapi menurut saya, komitmen mereka sebenarnya sudah bagus. Misalnya, sekarang saya melihat telah mulai ada standar pelayanan minimal di dinas pendidikan. Kemudian, legislatifpun dengan adanya anggaran sampai 20%, itu sudah menunjukkan adanya komitmen terhadap pendidikan. Masyarakat disini (Sumenep, red), sudah memiliki komitmen kok terhadap pendidikan. Mereka tampaknya telah mementingkan pendidikan. Hanya saja, kadang-kadang peran masyarakat ini dimaknai dengan hanya memberikan bantuan dana, tetapi mereka sebenarnya juga bisa berperan untuk mengukur baik dan tidaknya proses belajar mengajar di sekolah.

Dengan sekian problem pendidikan tersebut, kira-kira bagaimana desain pendidikan Sumenep ke depan?
Seperti yang telah saya singgung tadi, pendidikan kita masih jauh dari kualitas pendidikan di kota-kota yang besar. Oleh karena itu, yang harus kita lihat adalah pada masalah pemerataan pendidikan. Pemerataan itulah yang harus kita laksanakan. Wajar diknas harus dapat dilaksanakan dengan baik. Barulah kita memikirkan tentang mutu pendidikan, karena mutu pendidikan kita, seperti sarana prasarana di banyak sekolah masih sangat minim. Masih banyak yang belum mempunyai laboratorium dan perpustakaan. Ini yang perlu kita pikirkan. Untuk itu, menurut saya, anggaran pendidikan baik APBD maupun APBN harus dikerahkan seperti yang tertuang dalam PP nomor 19 itu tadi.

Dalam masalah pemerataan pendidikan,apakah bukan berarti dalam satu desa tertentu harus banyak lembaga pendidikan? Karena hal ini telah menjadi fenomena tersendiri di Sumenep. Pemerintah terkesan membiarkan berdirinya banyak lembaga pendidikan, sehingga ada beberapa desa yang memiliki banyak lembaga pendidikan yang sederajat, padahal dalal prosesnya tidak efektif. Menurut ibu bagaimana?
Itu terjadi karena belum adanya standar penghitungan rasio yang jelas, sehingga masyarakat berlomba-lomba mendirikan lembaga pendidikan

Mungkinkah pemerintah memang sengaja membiarkan masalah ini?
Ini yang perlu dipikrikan. Tapi di satu sisi, saya kira masyarakat kita telah mulai berfikir baik, karena tujuan mendirikan sekolah itu tentunya untuk memberikan kesempatan agar masyarakat bisa mengenyam pendidikan. Akan tetapi, yang perlu dipikirkan sekarang adalah kalau memang begitu (masyarakat berlomba-lomba mendirikan sekolah, red), seharusnya perlu ada ijin dari pemerintah sesuai dengan standar tertentu, kalau memang tidak sesuai dengan standar, maka tidak perlu ada ijin untuk menyelenggarakan pendidikan.

Kalau pendidikandi kepulauan, bagaimana ibu melihatnya?
Kendalanya terletak pada tenaga kependidikan. Mungkin karena masalah geografis yang sangat sulit. Kalau di kepulauan, semestinya kita katakan sebagai daerah terpencil, tetapi selama ini, baik dari propinsi maupun pusat tidak menyebut kepulauan sebagai daerah terpencil. Sebab, ketika kepulauan masuk dalam katagori daerah terpencil semestinya perlu ada penambahan kesejahteraan dan fasilitas, sehingga mereka bisa kerasan di tempat mengajar. Kalau mereka tidak kerasan, misalnya dengan cara seringkali meninggalkan tugas, terus bagaimana dengan proses pendidikan di kepulauan. Semestinya, kita ke depan juga harus memperhatikan kondisi pendidikan di kepulauan, kita juga harus dapat memacu perkembangan pendidikan di sana, agar seimbang dengan perkembangan pendidikan yang ada di daratan

Dengan problem-problem pendidikan tersebut, mungkinkah akibat visi pendidikan yang tidak jelas?
Sebenarnya kalau visi ada, tapi pelaksanaan untuk mencapai visi tersebut yang belum ada

Mengapa bisa demikian?
Karena komitmen (pengelola, red,) belum kuat. Jadi perlu dipacu dengan serius

Kongkretnya pendidikan Sumenep yang ideal ke depan?
Yang kita inginkan adalah bahwa pendidikan Sumenep, yaitu pendidikan yang universal. Artinya, pendidikan tidak hanya sekedar di sekolah, tetapi sepanjang hidup. Pendidikan tidak hanya untuk yang muda-muda, tetapi juga untuk yang sudah tua. Jadi, pendidikan berlaku untuk semua masyarakat dan dalam sepanjang masa. Begitulah idealnya pendidikan yang harus dipikirkan.

Harapan Ibu untuk pengelola pendidikan?
Marilah kita kelola pendidikan dengan ikhlas, dan marilah kita terus berupaya untuk meningkatkan pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan menuju pendidikan yang berkualitas. Marilah kita bersama-sama memajukan pendidikan masyarakat Sumenep dengan ikhlas dan benar-benar berkualitas.

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL LEPAS

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Jamilah, M.Ag

(Penulis adalah alumni pascasarjana UIN Yogyakarta Jurusan Pemikiran Pendidikan Islam. Tulisannya termuat di Jurnal Gerbang Yogyakarta, dan dalam buku Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Penerbit Pustaka Fahima, tahun 2007. Sera beberapa media lokal maupun nasional, antara lain Kedaulatan Rakyat, Kompas Yogjakarta, dll. Saat ini mengajar di MTs. Tarbiyatus Shibyan Jadung Dungkek Sumenep)

Latar Belakang Permasalahan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, katau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peninglcatan kualitas sumber daya manusia 9tu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama­sama tetah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikutum dan sistem evatuasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan mated ajar, serta petatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut betum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan (Djohar, 2003: 15). Satah satu indikator kekurang berhasitan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak mempertihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil (Ibtisam Abu Duhou, 2002: 213). Pertama, strategi pembangunan pendidikan selama ini tebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan atat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro­oriented, diatur oteh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
flisamping itu mengingat sekolah (dalam hat ini adalah lembaga Islam) sebagai unit pelaksana pendidikan format terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memertukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi tingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif datam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hat ini akan dapat ditaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. ONalaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasionat untuk dijadikan indikator evatuasi keberhasitan peningkatan mutu tersebut. Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengetolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah (terutama dalam lembaga Islam) masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada seltiolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kua.litas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkungannya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus diiaksanakan dan dievaluasi oleh
bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing_ masing. ceko!ah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasiona! dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.

Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
1. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
2. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
3. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
4. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan pada sekolah masing-masing
5. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
6. Memotivasi timbulnya pemikiran-pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut,
7. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
8. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap 5 tahun dan seterusnya, sehingga tercapai misi sekolah ke depan.

Pengertian Paningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalarn proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalarn proses peng-ambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dal;am rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan (Islam).
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah (terutama dalam pensisikan Islam) yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan dan pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja, tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro. Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang ahrus dilaksanakan di dalak proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berfikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pendidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasikan secara utuh oleh birokrat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1997 : 123). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut ; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan stas sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan atau perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah ; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua titu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan penddiikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggungjawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas di samping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan (Islam). Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total yaitu : (Muchlas Suseno, 1998 : 115) (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan sisiwa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arif bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus megontrol semua sumberdaya termasuk sumberdaya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan-­tujuan yang bersifat nasional dan akuntabititas yang berlingkup nasional. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi, agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau NGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (banchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuter) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.

Kerangka kerja dalam Manajemen Peningakatan Mutu Berbasis Sekolah
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor-koridor tertentu antara lain sebagai berikut; (Tim Teknis Bappenas, 1999: 21-36)
1. Sumber daya;
Sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
2. Pertanggung-jawaban (accountability);
Sekolah dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang tetah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.

3. Kurikulum;
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memiliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional.

4. Pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
Bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada. Pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, afektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.

5. Personil sekolah (lembaga Islam)
Sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekruitmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalarn pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesional harus menunjang peningkatan mutu dan penghargaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.

Kebijaksanaan Pelaksanan di tingkat Sekolah
a. Implementasi Pelaksanaan
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut: (Semiawan, Conny R Semiawan dan Soedijarto, 1991: 24-27)
1. Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
2. Melakukan evaluasi diri (self assesment) untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampitan, maupun aspek lainnya.
Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya). Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasikan konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorang sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan peralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-­program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.
Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah, oleh karena itu sekolah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu; (Mulyana, E, 2002: 79)
(i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah dalam periode satu tahun,
(ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus meyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus dilaksanakan total dan segera).
Bahwa perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan telah juga disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.

b. Evaluasi Pelaksanaan
Melakukan monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya? Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-­kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang (Ibtisam Abu Duhou, 1998: 37). Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut: (Dikmenum, 1999: 132)
§ Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
§ Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
§ Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
§ Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
§ Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekotah.
§ Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

Penutup
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak, yaitu orang tua/rrgasyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai patner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat ditaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skata prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Datam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan spsuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi(proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus rnenerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang hersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikaan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.

DAFTAR PUSTAKA
Djohar, 2003, Pendidikon Srtategik: Alternatif Untuk Penddidikan Maso Depan, Lesfi, Yogyakarta.
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerjo), Depdikbud, Jakarta.
Duhou, Ibtisam Abu, 2002, School -Based Management, Logos, Jakarta.
________________, 1998, Upaya Perintisan Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekoloh (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Mulyana, E, 2002, Manojemen Berbosis Sekolah: Konsep, Strategi lmplementasi, Rosdakarya, Bandung
Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, PT. Grasindo, Jakarta.
Suseno, Muchlas, 1998, Percepotan Pembelajaran Menje(ong Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21st Century oleh Colin Rose and Malcotm J. Nichotl), Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta
Tim Teknis Bappenas, 1999, School-Based Management di Tingkat Pendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia, Jakarta.

 

 Back To Daftar Isi

Membumikan Nilai Budaya Lokal (Kemaduraan)
Melalui Pembelajaran Sekolah

Oleh. Imam Suhairi

(Penulis adalah alumni STKIP PGRI Sumenep. Selain sebagai pengajar di SMA Negeri 1 Arjasa-Kangean, juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, saat ini tercatat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Masyarakat MaSDev (Madura Society Development) yang bergerak di bidang kajian, pendampingan, pemberdayaan, dan pemantauan.Pernah menjadi wartawan koran mingguan nasional dan aktif menulis artikel lepas di berbagai media.Mantan Presiden BEM STKIP PGRI 2002-2003, Sekretaris Umum (Sekum) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Sumenep 2001-2003. Koordinator Lembaga Pemantau Pemilu&Pilkada(LEW,Jamppi) 2004-2005.Kini tengah merintis terbentuknya Forum Guru Kepulauan (FGK) Kabupaten Sumenep)

Pendahuluan
Mencermati tingkah laku bangsa saat ini, kita akan sampai pada pertanyaan seberapa jauh dampak pendidikan, terutama pendidikan yang berorientasi moral dan nilai-nilai kebangsaan. Sebut saja, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama serta pendidikan lainnya yang punya nilai luhur budaya bangsa. Seolah-olah pendidikan yang dicanangkan telah gagal dalam mencapai tujuan untuk membentuk manusia Indonesia yang humanis, beradab, berbudaya luhur, beriman, dan bertaqwa.
Sejauh pandangan, perilaku kekerasan, perkosaan, penipuan, pencurian sampai pada praktik korupsi dan berbagai bentuk kriminal lainnya menjadi berita yang kita cerna tiap hari. Karakter bangsa yang menjunjung tinggi nilai keadaban dan keagamaan yang luhur dalam semua dimensi kehidupan termasuk pula dalam pendidikan kini telah tercerabut atau bahkan boleh jadi tidak punya karakter.
Pendidikan yang cenderung telah kehilangan karakter bangsa dan budaya lokal tergantikan dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sesuai dan tepat dengan kondisi kehidupan kekinian dan masa datang. Perubahan orientasi nilai kehidupan termasuk dalam pendidikan, lebih banyak sebagai akibat dari arus tekanan globalisasi yang memang pada hakikatnya menghendaki kesalingtergantungan dan penyatuan distribusi pengetahuan. Dalam bidang kebudayaan dan pendidikan, arus kekuatan negara-negara maju telah secara tidak langsung maupun langsung meng-invasi karakter budaya lokal. Di lain pihak masuknya nilai-nilai baru secara cepat yang ditawarkan, juga disebabkan sikap terbuka dan lebih akomodatifnya masyarakat sendiri atau secara sengaja telah membonceng imperialisme modern.
Perubahan dan pergeseran nilai tidak hanya cenderung pada tampilan bidang-bidang kesenian yang telah meminggirkan peran dan aktivitas-aktivitas kesenian lokal yang kaya nilai, tetapi telah merambah pada kecenderungan pola pikir. Hal ini disebabkan pengetahuan yang dicerna terkonstruk dengan cara-cara dan teori-teori “western” yang pada akhirnya akan membentuk tindak perilaku. Sangat tepat pendapat Eman Hermawan (2001) bahwa semakin pandai intelektual pribumi belajar tentang Indonesia semakin kuat ia dicengkram pengetahuan yang dikonstruksi paham orientalis. Studi orientalis merentangkan semua disiplin ilmu, sejak dari filologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, studi budaya, dan agama-agama.
Kecenderungan tersebut di atas pada akhirnya melahirkan pola pikir yang mengarah pada terciptanya sikap dan tindak sekuralisme, materialis kapitalis, hedonis dan individualis dalam masyarakat, termasuk pada konstruksi pendidikan kita. Kalau lebih jauh kita cermati, realitas pendidikan yang berjalan semakin me-legal-kan nilai-nilai tadi dari tataran input sampai outputnya. Kapitalisme telah semakin merambah dunia pendidikan kita, dengan semakin banyak didirikannya lembaga-lembaga sekolah untuk meraup keuntungan material. Aspek kualitas tergadaikan dengan berupaya merekrut siswa baru sebanyak-banyaknya. Fenomena ini semakin menciptakan kompetisi yang kurang sehat antar sekolah, dengan menghilangkan prinsip kerjasama antar lembaga, bahwa yang lebih besar dari aspek kuantitas peserta belajarnya merekalah yang menang. Akibat kemudian adalah tercipta sebutan sekolah favorit dan pinggiran. Sekolah favorit yang serba fasilitas lengkap hanya bisa dinikmati oleh mereka anak-anak orang kaya dan mengesampingkan anak-anak orang miskin karena mereka tidak sanggup membayar biaya pendidikan yang dibebankan (Susilo,2007).
Pada tataran lain, sekolah berlomba-lomba meng-internasional-kan diri. Kini telah menjamur sekolah-sekolah internasional dan sekolah dengan standar internasional. Kurikulum yang dipakai pun berbasis internasional (mengadopsi sekolah-sekolah negara-negara barat) yang dianggap punya peradaban dan meninggalkan konteks lokal. Pada sisi output-nya lulusan sekolah dianggap sukses apabila dapat memegang suatu pekerjaan-pekerjaan formal dan terdistribusi pada perusahaan-perusahaan pemerintah maupun swasta dengan mengesampingkan aspek keadaban lokal. Apalagi jika dapat mengoperasikan dengan fasih berbagai perangkat teknologi buatan barat, dianggap merupakan generasi terpelajar dan cerdas meskipun pada sisi lain kadang menjadi generasi penggerak penghangusan nilai-nilai kearifan dan budaya lokal. Dalam pikirannya aspek hedonis kemajuan duniawi menjadi sangat abadi dibandingkan dengan nilai-nilai profetis keagamaan.
Tentu kondisi semacam ini tidak akan kita biarkan, baik kita sebagai pribadi, terlebih sebagai pendidik. Pada hakikatnya kita sebagai warga bangsa yang berbudaya tidak ingin melihat negeri ini bukan lagi Indonesia atau dalam konteks lokal, tidak ingin kita lihat Madura bukan Madura lagi. Dalam artian, semua sendi-sendi kehidupan sudah serba baru dan tergantikan dari aslinya sebagai masyarakat berbudaya Madura dan Indonesia, tetapi masyarakat global yang dipenuhi dengan nilai-nilai barat. Dengan demikian, harus ada upaya konkrit dan tepat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai lokal yang luhur.
Revitalisasi Budaya Melalui Pendidikan
Salah satu upaya untuk kembali membumikan budaya lokal secara konsepsional adalah pelestarian budaya. Pelestarian budaya minimal dapat menginterview kembali memori akan hal-hal masa lampau sebagai etnis suku bangsa dan warga suatu negara yang mempunyai perdaban dan filosofi luhur yang dapat dijadikan acuan hidup sampai hari ini dan identitas peradaban di tengah-tengah kehidupan multikultural yang terus menggema.
Namun kemudian tidaklah terhenti pada pelestarian. Pelestarian terbatas pada upaya menggali budaya lokal. Maka perlu ada revitalisasi yang diyakini akan menjawab tantangan zaman kekinian. Dalam revitalisasi dimungkinkan akan ada dialog antara budaya masa silam dengan tradisi kekinian. Dalam artian, sebuah revitalisasi budaya lokal tidak sampai kehilangan konteks kekinian, dikarenakan tidak semua hasil budaya masa silam “conect” dan menjawab tantangan hidup hari ini dan masa depan.
Menurut hemat saya, revitalisasi akan semakin memperkaya khazanah perbendaharaan budaya dalam kehidupan. Budaya masa silam yang cenderung kurang berdaya guna, menjadi catatan sejarah budaya yang dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan, sedangkan budaya yang masih relevan terus dikembangkan dalam berbagai kesempatan
Salah satu upaya pelestarian dan sekaligus pengembangan budaya lokal dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar tetap menjadi identitas diri dan jati diri bangsa adalah melalui jalur pendidikan, baik situasi formal, informal dan non formal. Melalui jalur pendidikan formal, berupaya ditanamkan kepada peserta didik nilai-nilai dan unsur-unsur budaya lokal. Sementara melalui situasi informal, melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler dan penyadaran dalam ruang lingkup keluarga yang menerapkan konsepsi dan nilai-nilai tradisi setempat. Pada situasi lain di masyarakat, upaya pelestarian tradisi lokal terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan masyarakat.
Unsur Budaya Madura dalam Pembelajaran
Hal pertama yang perlu dilakukan dalam mengaplikasikan pembelajaran budaya lokal di sekolah-sekolah adalah mengidentifikasi unsur-unsur budaya lokal (kemaduraan) yang dapat dijadikan bahan ajar yang relevan bagi dunia pendidikan khususnya dan sesuai dengan perkembangan zaman. Artinya secara proyektif dapat bermanfaat bagi kehidupan peserta didik kelak.
Budaya manusia menurut Notowidagdo ( 1997:27) dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni : (1) kebudayaan jasmaniah (cilivilization), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia demi kepentingan hidup lahir, seperti : rumah, alat-alat komunikasi, pakaian, dan lainnya ;(2) kebudayaan rohaniah (culture), merupakan kebudayaan yang diciptakan demi kepuasan batin manusia, seperti : ilmu pengetahuan, bahasa, seni, adat-istiadat, cara berpikir,dan lain sebagainya.
Sementara Koentjaraningrat, membagi 3 (tiga) macam wujud kebudayaan yang dapat ditelaah, diantaranya : (1) Wujud kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud yang pertama ini adalah wujud ideal kebudayaan yang abstrak dan memberi jiwa kepada individu dan masyarakat; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat yang lebih dikenal dengan sistem sosial yang bisa berwujud karena bisa diobservasi dan didokumentasi; (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang bersifat konkrit berupa benda-benda yang dapat diraba.
Secara universal, menurut C.Klucklon dalam Notowidagdo (1997) menjelaskan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang didapatkan pada semua bangsa di dunia ini, diantaranya : bahasa (lisan maupun tertulis), sistem teknologi (peralatan dan perlengkapan hidup manusia), sistem mata pencaharian (sistem ekonomi), organisasi sosial (sistem kemasyarakatan), sistem pengetahuan, kesenian, dan relegi (kepercayaan atau keyakinan).
Pada konteks budaya lokal (Madura), unsur-unsur budaya lokal Madura yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi peserta didik dapat dipetakan ke dalam beberapa unsur.
Hal yang menonjol dari salah satu unsur budaya Madura adalah bahasanya. Masyarakat Madura mempunyai bahasa sendiri sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, alat berpikir, dan mewujdukan hasil berpikir. Bahasa Madura sebagai bahasa daerah (vernaculer language) tergolong sebagai bahasa yang besar karena penuturnya banyak. Menurut klasifikasi yang dibuat oleh Parrera (1991) bahasa Madura mempunyai jumlah penutur pada kategori A dan urutan ketiga setelah bahasa Jawa dan Sunda, yakni sebanyak 6 (enam) juta jiwa (bersumber pada language atlas of pasific area, tahun 1983 terbitan Australian university). Hal ini wajar, dikarenakan penuturnya tersebar di beberapa tempat, yakni pulau Madura sendiri dan pulau-pulau di sekitarnya seperti Sapudi, Raas, Tonduk, Kangean, Masalembu, Bawean, daerah tapal kuda Jawa Timur dan bahkan para perantau Madura di nusantara atau bahkan luar nusantara yang telah membentuk komunitas tersendiri (etnik Madura). Bahasa Madura antar wilayah mempunyai corak dialek sendiri-sendiri yang kalau dipelajari dan diteliti akan semakin memperkaya khazanah bahasa Madura.
Hal menarik pula yang perlu mendapat perhatian bahwa bahasa Madura memiliki tradisi tradisi sastra baik sastra yang telah ditulis maupun sastra lisan (folklore). Tradisi sastra lisan ini benar-benar mencerminkan dan mendapat kapasitas lebih besar dari tradisi sastra tulis. Sastra ini hidup secara berkesinambingan dari mulut ke mulut , dari generasi ke generasi. Menurut Hutomo (2000) sastra lisan ini ada yang diceritakan biasa atau dinyatakan dengan nyanyian, juga ada yang dipertunjukkan, seperti ludruk, ketoprak, topeng, dan mocopat. Keberadaan sastra Madura ini hampir punah, karena berbagai faktor internal maupun eksternal.
Kita ambil contoh saja seni mocopat, yang berisi tentang cerita-cerita kuno seperti Mahabharata atau sejarah Islam. Kemudian dongeng yang dilakukan secara turun-temurun. Sedangkan “paparegan” berisi sindiran-sindiran, syi’ir yang berisi nasehat-nasehat kebaikan dan tembang Madura yang mengetengahkan lagu-lagu Madura yang berisi romantisme dan lain sebagainya. Beberapa bentuk dan unsur budaya tadi kalau dikaji secara mendalam akan banyak mengandung nilai, baik nilai moral, nilai filosofi hidup yang bermanfaat bagi kehidupan.
Dalam masyarakat Madura juga dikenal aturan bertutur atau ‘tata krama” bertutur. Dalam etika pergaulan dikenal tingkatan-tingkatan bahasa (ondagga basa) seperti enja’ iya, enggi enten, dan enggi bunten. Termasuk pula naik turunnya (basa andhap = tingkatan rendah, basa tenga’an = tingkatan menengah, dan basa tenggi = tingkatan tinggi). Hal tersebut akan menunjukkan ciri sikap dan perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Konkonan, 1991:edisi 9).
Sebagai cerminan dari tata krama bertutur, terdapat pula tata kelakuan yang mengatur hubungan tindakan antar individu di lingkungan keluarga, sosial, dan termasuk pemerintahan. Tata krama dan tata kelakuan ini berwujud sejumlah nilai-nilai yang menjadi pedoman di masyarakat (Rusdi, 1989). Dalam artian lebih lanjut, orang akan dianggap korang ajar (tidak beradab) apabila tidak dapat mempraktikkan sejumlah perangkat nilai tata krama yang sudah tertanam dalam masyarakat Madura. Sebagai akibat, ia akan kehilangan legitimasi moral dan sosial dalam lingkungannya.
Penting pula untuk mempelajari tentang sejarah Madura dan perkembangannya. Sejarah Madura dan perkembangannya akan dipahami dari zaman purbakala, yang dibagi dalam 3(tiga) periode, yakni : (1) dari zaman Aria Wiraraja sampai Joko tole, (2) dari zaman masuknya Islam sampai Ke Lesap, dan (3) dari zaman Bindoro Saod sampai Prabuwinoto (Imron, 2004).
Sementara itu Huub de Jonge (1989) mengklasifikasikan kajian sejarah Madura meliputi : (1) Madura sebelum tahun 1700, (2) Madura dan VOC dalam abad ke-18, (3) Madura dan Hindia Belanda, (4) zaman pemerintahan sendiri. Materi sejarah Madura akan semakin menarik jika ditelaah sampai konteks kekinian, termasuk perkembangan sosial budayanya dari zaman ke zaman.
Unsur berikutnya adalah kesenian Madura yang merupakan ciri khas dari nilai estetika masyarakat Madura. Eksistensi kesenian Madura ini sebenarnya sudah sangat populer sampai ke manca negara dengan dikirimnya duta-duta kesenian Madura ke luar negeri dalam acara-acara yang bersifat internasional.
Seorang peneliti tentang Madura, Helene Bouvier (1989) mengklasifikasikan jenis kesenian Madura dalam beberapa bentuk yakni : (1) bentuk-bentuk teater, yang meliputi : seni lundruk, topeng dalang, al-badar, drama atau sosio drama, (2) puisi yang dilagukan (macapat), (3) tarian dengan lagu seperti : tayuban, (4) tari-tarian, dan (5) seni bela diri seperti : pencak silat dan ojung, kemudian (6) kesenian agama, seperti : diba’ dan dzikir, hadrah, samman, samroh, gambos, serta (7) orkes seperti : gamelan, thong-thong, okol, orkes melayu, dan saronen. Dapat pula ditambah tentang seni ukir dan seni batik khas Madura (Imron, 2004).
Mempelajari kesenian Madura dan sekaligus mengapresiasi dapat meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritualnya. Hal lain adalah agar jati diri kemaduraan dapat terus dipacu perkembangannya termasuk pula milai-nilai yang ada di dalamnya dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter generasi bangsa. Untuk itu tidak cukup saya kira terhenti pada dialog dan seminar, perlu kembali diadakan penelitian budaya lokal (kemaduraan) dan sekaligus merumuskan pengembangannya dalam konteks kekinian.
Formulasi Pembelajaran Budaya Madura
Upaya membumikan nilai-nilai budaya lokal seperti budaya Madura dapat dilakukan dan diperkenalkan sejak dini pada peserta didik dalam setiap jenjang tingkatan pendidikan.
Sebagai gambaran, mulai sejak pra-sekolah dan Taman Kanak-Kanak (TK) peserta didik sudah bisa diberikan substansi dari nilai-nilai budaya luhur Madura, seperti : bagaimana bertutur kata yang benar kepada orang tua, guru, dan teman. Pengenalan juga bisa dilakukan mengenai daerah (lingkungan) dimana ia tinggal dan bentuk-bentuk kesenian Madura.
Sebenarnya riel di sekolah-sekolah utamanya di sekolah dasar dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) telah ada bidang studi bahasa daerah (Madura) yang merupakan muatan lokal. Oleh karenanya menurut hemat kami, mengoptimalkan pembelajaran tentang budaya lokal (Madura) dapat ditempuh dengan menggunakan 4 (empat) perspektif besar, yakni : pertama, pembelajaran budaya lokal dan seperangkat nilai-nilai lokal dilakukan dengan pendekatan integratif. Ketika nilai perlu diserahkan ke dalam mata pelajaran, maka diperlukan strategi pembelajaran yang memiliki keunggulan dalam memperdalam isi dan makna. Pendekatana ini karenanya memadukan kemampuan kognitif dengan afektif. Dengan demikian tujuan pendekatan ini adalah agar peserta didik mampu bertindak dengan benar dan tepat atas dasar pertimbangan kognitif-afektif yang mereka lakukan.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan komplementer, bahwa proses belajar dianggap sebagai suatu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi, yang meliputi : (1) pengintegrasian nilai moral ke dalam mata pelajaran umum, (2) penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan relegiusitas peserta didik, (3) pengembangan kegiatan ekstrakurikuler yang berbasis agama dan moral (Mulyana,2004:160). Dengan demikian, pendekatan integrasi ini tidak menjadi sebuah mata pelajaran atau mata kuliah.
Sementara strategi pembelajaran nilai yang dapat dipertemukan dalam pendekatan ini lebih lanjut menurut Mulyana (2004 : 182) diantaranya klarifikasi nilai, pengembangan moral, analisis nilai, dan penanaman nilai.
Strategi klarifikasi nilai bertujuan agar peserta didik mampu mengklarifikasi posisi, pikiran, dan perasaan dirinya terhadapa situasi tertentu dengan cara memilih, menilai, menghargai, dan bertindak sesuai dengan konteks situasi yang tengah dipelajari. Kegiatan belajar dapat berupa dinamika kelompok, belajar kerjasama, diskusi, bermain peran, dan lainnya.
Strategi pengembangan moral dirancang berdasarkan suatu teori bahwa nilai yang berkembang pada diri seseorang erat kaitannnya dengan kemampuan dirinya dalam pertimbangan dan alasan moral. Hal ini dapat mengarahkan peserta didik pada pertimbangan moral untuk mengambil keputusan serta menyadari akibat dari keputusan yang diambil.
Strategi analisis nilai sering dikembangkan dengan menidentifikasi sejumlah masalah melalui pengumpulan bukti-bukti positif maupun negatif tentang suatu masalah. Peserta didik kemeudian, diajak membuat kesimpulan sementara atas permasalahan yang tengah dipelajari. Konteks masalah dapat berupa isu-isu lokal, informasi pengetahuan ataupun perangkat nilai yang telah mapan.
Sementara strategi penanaman nilai adalah dengan sistem ceramah, teknik penguatan, cerita, bernyanyi, atau permainan yang didahului dengan klarifikasi nilai secara bermakna.
Dalam konteks pembelajaran nilai-nilai budaya lokal (kemaduraan) dilakukan dengan mengintegrasikan sejumlah perangkat nilai-nilai lokal ke dalam bidang studi atau pembelajaran lain.Melalui pendekatan ini, selain dapat diterapkan pada semua pembelajaran, diharapkan peserta didik tertanam nilai-nilai budaya lokal (kemaduraan). Mampu mengklarifikasi posisi, pikiran, dan perasaan terhadap seperangkat nilai lokal untuk kemudian mendiskusikannya. Menilai, menghargai, dan kemudian bertindak serta mengembangkan perangkat nilai yang diterimanya.
Dalam mengimplementasikan berbagai strategi yang ada, dibutuhkan telaah terhadap kemampuan dan tingkat kognitif peserta didik. Pada tingkat sekolah dasar tau pra sekolah misalnya, barangkali kurang tepat untuk menerapkan strategi klarifikasi nilai ataupun analisis nilai, tetapi lebih tepat jika menggunakan strategi penanaman nilai. Perangkat pembelajaran dapat diselipkan nilai-nilai yang relevan dengan kebutuhan peserta didik.
Begitu pula pada tingkatan menengah pertama (SMP) dan menengah atas (SMA), selain dapat diterapkan pendekatan integrasi dengan strategi penanaman nilai, juga strategi pengembangan moral, dan strategi klarifikasi nilai. Peserta didik selain diajak untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan pertimbangan nilai lokal yang dipahami an relevan dengan kehidupannya, juga diajak untuk berdiskusi dan bermain peran sesuai dengan perangkat nilai yang diintegrasikan. Hal tersebut akan lebih tercipta suasana variatif dalam metode.
Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, mahasiswa tidak lagi diberikan pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai kemaduraan dan unsur-unsur budayanya, tetapi lebih pada pengembangan nilai dan unsur budaya Madura dengan pendekatan strategi analisis nilai sesuai dengan hal-hal atau masalah-masalah yang muncul dan ada di sekelilingnya untuk dikaji, diapresiasi dan disimpulkan untuk dikembangkan. Problemnya, adalah belum tersedianya sejumlah perangkat nilai-nilai kemaduraan yang dapat dijadikan bahan integarsi pembelajaran. Untuk itu perlu dirumuskan secara bersama-sama antar stake holder untuk mengidentifikasi dan melakukan “mapping” nilai-nilai lokal Madura yang relevan dan dapat diintegralkan dalam pembelajaran.
Perspektif kedua, dengan mengoptimalkan pembelajaran unsur budaya lokal yang telah berjalan. Di tingkat sekolah dasar dan menengah (SMP) telah ada muatan lokal bidang studi bahasa Madura, namun substansi pembelajaran nilai sebenarnya belum terartikulasi dengan baik. Padahal pembelajaran bahasa selain untuk meningkatkan kemampuan berpikir, bernalar, dan memecahkan masalah, sedangkan pembelajaran sastra diharapkan ada peningkatan ketrampilan kreatif dalam menuangkan gagasan, pengalaman, dan perasaan dalam berbagai bentuk karya sastra (Dirjen pembinaan Kelembagaan Depag,1996 : 10-12).
Dengan demikian perlu usaha-usaha yang lebih bersemangat untuk merancang dan menerapkan skenario pembelajaran secara deskriptif yang dapat mencerahkan peserta didik. Di samping itu, pada tataran implementasinya diperlukan kesungguhan untuk tidak sekedar menyelesaikan tugas mengajar dan menghatamkan buku pelajaran.
Di lain hal, perlu memperluas materi ajar apada pengembangan unsur-unsur budaya lokal (kemaduraan) yang lain. Dalam materi ajar, yang sebelumnya hanya terbatas pada kebahasaan dan sastra tulis, mulai dikembangkan modul pembelajaran yang lebih kompreghensif, seperti : materi tata krama tutur, tata kelakuan, sejarah Madura, seni-seni yang ada di Madura, dan pengembangannya. Tentu dibutuhkan tim yang dapat merumuskan modul pembelajaran dan sekaligus ketersediaan waktu yang lebih panjang dan luas, tidak hanya di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama, juga menengah atas (SMA), dan perguruan-perguruan tinggi di Madura termasuk jam pelajaran tidak hanya di konstruk 2 (dua) jam pelajaran perminggunya.
Perspektif yang ketiga, adalah dengan menambah muatan bidang studi dalam muatan kurikulum sekolah. Hal ini dapat diistilahkan sebagai bidang studi pembulat yakni adanya spesialisasi dalam pembentukan karakter dan pengetahuan terhadap peserta didik. Untuk pertimbangan pembentukan karakter kepribadian harus bermodalkan pemahaman siswa dan mahasiswa tentang ideologi negara, mengerti hak dan kewajiban sebagai warga negara, mampu mengekspresikan pendapat dengan baik dan benar, maka diciptakan mata kulaih atau bidang studi yang berbeda seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Kewiraan, dan bahasa Indonesia (mulyana, 2004 : 158-159)
Sinergis dengan konsepsi tersebut, diciptkan bidang studi baru yang melingkupi unsur-unsur budaya lokal (Madura) dalam kurikulum sekolah. Untuk pertimbangan pemahaman dan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap tanah air, perlu diciptakan bidang studi sejarah Madura dan perkembangannya. Begitu pula untuk memperkaya khazanah estetika, dikembangkan bidang studi bahasa dan sastra Madura. Tata krama dan Etika masyarakat Madura juga perlu dibelajarkan sebagai upaya menciptakan generasi yang berkarakter sesuai nilai-nilai yang luhur. Hal berikutnya, pada pertimbangan pengembangan dan melestarikan seni Madura dibentuk bidang studi kesenian Madura.
Teknik penyajian beberapa bidang studi budaya lokal tadi tidak sulit diterapkan, apalagi sekarang tengah diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberi ruang luas bagi sekolah untuk mengembangkan kurikulum dan perangkat pembelajaran (silabus dan rencana pembelajaran) sendiri yang dapat dirumuskan oleh para guru secara mandiri/kelompok guru atau sekolah atau beberapa sekolah. Artinya, pembelajaran budaya lokal dengan penambahan bidang studi baru sangat luas kesempatannya di sekolah-sekolah.
Dalam implementasinya, taraf pertama bisa diberikan sejarah Madura, kemudian pembelajaran bahasa dan sastra Madura, lalu dilanjutkan pada tata krama dan etika Madura dan pada akhirnya kesenian Madura. Pada tingkat perguruan tinggi yang relevan, mahasiswa diarahkan pada penelitian tentang nilai-nilai budaya lokal (Madura). Dibentuk pula mata kulaih bahasa Madura, sastra Madura, dan folklore sebagai mata kuliah pilihan serta kesenian Madura (seni teater Madura, tari-tarian Madura, lagu-lagu Madura, dan seni ukir, dan seni batik Madura).
Pada saat menulis skripsi, khusus program studi bahasa, mahasiswa dapat diarahkan mengkaji dialektotlogi, tradisi sastra lisan dan tulis, cerita rakyat, sastra Islami yang berkembang di pesantren. Tentu harapan dalam hal ini, sebuah lembaga sekolah atau perguruan tinggi ditantang agar memiliki karakter khas yang membedakan dengan lembaga lain ( Sudikan,2004).
Perspektif yang keempat, yakni melalui program ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran yang bertujuan untuk melatih siswa pada pengalaman-pengalaman nyata. Ada pula yang berpendapat bahwa selain intrakurikuler dan ekstrakurikuler, wilayah pengelolaan yang ketiga adalah budaya sekolah (school culture) yang dibentuk oleh keterpaduan antar keduanya plus pembiayaan sikap dan perilaku secara personal (Mulyana,2004 :162).
Membumikan nilai budaya lokal (Madura) melalui kegiatan ekstrakurikuler dapat diterapkan, karena dalam ekstrakurikuler dikembangkan pengalaman-pengalaman yang bersifat nyata dan dapat membawa siswa pada kesadaran atas sesama lingkungan dan kesadaran nilai-nilai.
Dengan kebutuhan yang relevan dengan siswa, dapat diaktifkan kegiatan ekstrakurikuler seperti : kelompok pecinta alam dan kelompok penelitian untuk melakukan kajian terhadap budaya lokal, begitu pula dapat dikembangkan kegiatan seni teater Madura yang mengeksplorasi bentuk-bentuk seni pentas Madura. Demikian pula tari-tarian Madura, seni batik Madura dan seni ukir khas Madura serta hal-hal lain yang relevan.
Penutup
Barangkali kita semua mahfum, bahwa upaya penggalian nilai-nilai luhur budaya lokal (termasuk Madura) telah banyak dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari diskusi kecil orang-perorang, seminar bahkan sekaliber kongres kebudayaan sekalipun. Ada banyak rekomendasi yang telah dihasilkan dan dapat dijadikan bahan untuk dikembangkan dalam pembelajaran pada peserta didik.
Diperlukan kesadaran dan semangat bersama elemen pendidikan dan budayawan Madura (perlu diberikan garis pembeda antara budayawan Madura yakni mereka yang berkecimpung dalam kebudayaan dengan menggunakan unsur-unsur atau nilai-nilai kemaduraan dan budayawan asal Madura, yakni mereka yang hanya berasal dari Madura, tetapi telah melupakan kemaduraannya dalam karya-karyanya) untuk bersama-sama mengembangkan dalam pendidikan. Dibutuhkan sumber daya yang berkompeten untuk kemudian meluangkan waktunya merumuskan pembelajaran budaya Madura di sekolah-sekolah. Yang diperlukan adalah rumusan perangkat nilai-nilai budaya lokal (Madura), modul pembelajaran budaya Madura yang akan menjadi panduan bagi sekolah dan guru. Tentu harapan bersama adanya good will para penentu kebijakan di daerah untuk bersedia memberi ruang seluas-luasnya dan anggran demi terealisasinya ide besar ini.
Satu hal yang mungkin kedengaran aneh tapi mengandung harapan besar, menurut Setya Yuwana Sudikan MA (Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur), bahwa kalau orang ingin mendalami bahasa Jawa pusatnya di Lieden Universiteit Belanda, kalau orang mau belajar ilmu sosial-budaya di Cornell University dan seterusnya. Harapan ke depan, orang kalau mau belajar sosial budaya Madura di perguruan-perguruan tinggi yang ada di Madura tempatnya.semoga.

.
DAFTAR PUSTAKA

Bouvier, Helene.1989. Musik dan Seni Pertunjukan di Kabupaten Sumenep: dalam Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi (penyunting Huub de Jonge). Jakarta : Rajawali

de Jonge, Huub. 1989. Madura dalam Empat Zaman : Pedagang, perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta : Gramedia

Dirjen Pembinaan Kelembagaan Departemen Agama. 1996. Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Agama

Hermawan,Eman.2001. Politik Isu Tunggal; Jalan Buntu Gerakan Masyarakat Sipil.Yogjakarta : Klik

Hutomo,Suripan,Sadi. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Sastra Daerah di Jawa Timur. Makalah Sarasehan. Surabaya : Balai Bahasa

Imron, Zawawi,D. 2004. Bidang Studi Budaya Madura bagi Mahasiswa. Makalah tidak diterbitkan.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipata

Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung : Alfabeta

Notowidagdo, Rohiman. 1997. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkana Al-Quran dan Al-Hadist. Jakarta : Grafindo Persada

Parerra, Daniel, Jos. 1991. Kajian Lingusitik Umum : Historis Komparatif dan Tipologi struktural. Jakarta : Erlangga

Rusdi, M Dkk.1989. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga di Daerah Jawa timur. Surabaya : Depatemen Pendidikan dan kebudayaan

Sudikan, Yuwana, Setya. 2004. Teknik Penyusunan Kurikulum Perguruan Tinggi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Makalah.

Susilo, Joko.2007.Pembodohan Siswa Tersistematis.Yogyakarta : Pinus

Tim Nabara Depdikbud. 1991.Buletin Konkonan : Pamerte Bahasa Madura. Edisi 07 – 10. Sumenep


 Back To Daftar Isi

Memimpikan Masa Depan Pendidikan Lebih Cerah:
KEMBALI PADA KEFITRIAN NILAI

Oleh. Ahmad Zaini

(Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren al-Huda Sumber Nangka Pamekasan. Selain aktif mengurus sebagai pengurusi MWC NU Kadur, ia juga menjadi staf pengajar di beberapa lembaga pendidikan, antara lain MA al-Wathon, Larangan Perreng Pragaan Sumenep, dan MA al-Huda Sumber Nangka Pamekasa.)

Pendahuluan
Di sebuah desa yang masih lugu – untuk menghindari asumsi kosmopolit- seorang anak kecil bernama Tomo selalu mengeluh pada Emaknya, bosan untuk sekolah.
“Kenapa, Nak?”
“Capek!”
“Capek?”
“Ya”
“Kenapa musti capek?” Tanya sang Ibu penasaran. “ Bukankah sekolah itu tempat paling nyaman untuk berfantasi dan belajar, Nak?”
“Suasananya monoton banget”
Mendengar jawaban anaknya sang Ibu hanya bisa mendesah. Bertindak kasar bukan suatu hal yang bijak. Apalagi bagi seorang anak yang masih berusia dini. Dia hanya bisa berharap, esok pagi anaknya mau sekolah lagi. Hatinya tak henti memohon, para tenaga pengelola pendidikan mau berfikir inovatif demi keberlangsungan dunia pendidikan.
Secara abstraktif kita bisa melihat, bahwa apa yang dialami oleh Tomo merupakan suatu “persoalan” bagi dunia persekolahan kita. Mungkin bagi orang dewasa, persoalan yang dihadapi oleh seorang Tomo adalah persoalan biasa; anak-anak memang begitu. Akan tetapi, pada skala global, kisah Tomo adalah kisah pahit yang pada gilirannya menyiratkan adanya kesimpulan menyakitkan ; dunia pendidikan kita masih jauh dari harapan bahwa tujuan pendidikan yang didambakan oleh bangsa kita adalah sebagai wahana pemberdayaan satu-satunya dalam pemberdayaan dan pengembangan potensi dan kreatifitas.
Disadari atau tidak, pendidikan adalah wahana, sudah sejak tahun 900-an sebelum Masehi ketika sistem pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan tidak pernah di arahkan untuk dirinya sendiri (Thompson 1951:1; Smith, 1979:1). Pendidikan selalu sebagai alat, yaitu pendidikan sebagai alat untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat untuk meningkatkan pekerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat untuk meningkatkab taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai tekhnologi, alat untuk menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial, alat pemanusiaan, serta alat pembebasan(Jaks, 1946; Friere, 1968; Rogers and Ruchlin, 1971; Blaugh, 1972; ul Haq, 1974; Edward an Todaro, 1974; Schumacher, 1979: 78; Scheffer, 1985; Hendley, 1986; Ruwiyanto, 1994; Tilaar, 1998; Buckley, 1998). Sebagai alat, pendidikan diabdikan kepada sebuah atau beberapa tujuan. Dalam tujuan terkandung visi dan missi. Di sinilah terjadi medan dan perbutan pengaruh dari berbagai kekuatan lengkap dengan ideologinya. Kekuatan dan ideologi ini terjelma dalam sistem ekonomi pendidikan. Masing-masing sistem ekonomi pendidikan membuat visi dan misinya tersendiri. Adalah tugas para pencinta menusia untuk selalu mengembalikan visi dan misi pendidikan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam semangat kerakyatan. Artinya pencapaian kemanusiaan itu bukan menjadi ekslusivitas elite dan kaum terpelajar, melainkan berdimensi komitmen pada rakyat secara khusus.
Dalam kerangka ini, sepengga kisah seorang pelajar seperti Tomo yang menjadi ilustrasi singkat di awal tulisan ini, terkadang menjadi kisah yang hanya enak dibaca, tapi sangat menyakitkan, karena pendidikan menyimbolkan tentang kondisi pendidikan yang tidak lagi menjadi tempat dimana anak-anak harus didik.

Awalnya Berangkat dari Streotype
Sejak kecil kita telah dididik untuk selalu menerapkan sikap tunduk atau patuh, baik dan jujur. Di rumah, majelis-majelis atau forum ilmiah, dan bahkan di sekolah, streotype itu menjadi wejangan yang rasanya wajib untuk terus diajarkan, tanpa menghiraukan bagaimanan konsepsi yang lebih pas memasukkan nilai-nilai dari ‘ajaran” itu. Dalam artia yang lain, streotype yang awalnya “baik” akhirnya dipelestkan menjadi sesuatu yang kurang “enak” bagi perjalanan nalar kreatifitas dan potensi seorang anak didik. Ternyata memang benar, teori yang baik akan hancur jika aktualisasinya tidak benar. Kita bisa lihat dalam kenyataan yang terjadi hari ini. Konsepsi “patuh/tunduk”, “baik dan jujur” menjadi justifikasi untuk melegalkan “keinginan” merampas hak anak-anak sebagai orang yang merdeka. Semakin patuh dan tunduk seorang anak didik maka akan semakin terasa nuansa pendidikan begitu kaku dan beku. Puncaknya, semakin dunia pendidikan marak dengan ragam ide dan penemuan, semakin terasa betapa kemajuan itu hanya semata menjadi sebuah riset tanpa makna hakiki. Makna kemanusiaan yang diharapkan mampu berdampak dimensional; intelektual, emosianl, dan spritual, tidak lagi menjadi sesuatu yang menyejukkan.
Akibatnya, perjalanan pendidikan yang terus bergerak maju, pada sisi yang sangat mendasar, telah menumbuhkan kengerian tersendiri. Ada banyak hal yang patut untuk diperhatikan, sisi kesiapan pengelola pendidikan untuk memposisikan “mereka” sebagai manusia yang merdeka. Biarkan “mereka” menentukan pilihan dan berkarya. Prinsip keadilan (equality) dalam pengelolaan pendidikan sudah saatnya dimantapkan. Dengan prinsip ini, setiap anak harus mendapatkan pendidikan sebagai hak paling asasi tanpa diskriminasi yang memungkinkan dapat mengembangkan kemampuannya secara penuh” (Caldwell dan Spinks, 1992)
Sepintas ungkapan Caldwell dan Spinks ini cukup signifikan untuk dijadikan sebagai acuan bahwa terdapat asumsi yang ambigius dan corak pemikiran yang statis ketika kita melihat suasana dan perjalanan pendidikan serta per ‘sekolah’an di Indonesia akhir-akhir ini. Asumsi tersebut didasarkan pada penilaian bahwa semua strategi pembelajaran yang diterapkan hanya menitikberatkan pada satu aspek pendidikan saja, yaitu kognitif. Kondisi ini berimbas cukup signifikan pada tingkat keilmuan dan keberhasilan pendidikan –dan peserta didik-, sehingga tidak aneh bila orientasi pendidikan di Indonesia cukup pragmatis, yaitu bagaimana mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi ujian nasional (UNAS) sehingga siswa dapat meraih nilai yang tinggi sebagai persiapan melamar kerja. Ironisnya, tujuan tersebut tidak diimbangi dengan kematangan kualitas skill dan kecakapan kewirausahaan (entrepreneur skill). Kondisi inilah yang sering kali disebut dengan degree holder.
Walaupun sejak dilegalkannya kurikulum 1964 dan suplemen 1987, pola pengajaran dalam institusi pendidikan menggunakan metode belajar aktif, namun asas dan substansi yang berada dalam konteks pengajaran masih belum diaplikasikan secara utuh. Karena kegiatan belajar mengajar (KBM) semacam ini, sebenarnya lebih mengarah pada upaya memasukkan konsep kurikulum baru, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di sekolah. Dalam kurikulum ini, siswa memang dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam memperoleh materi pelajaran yang telah diberikan oleh guru.
Namun demikian, yang menjadi persoalan sekarang adalah guru mata pelajaran—yang meski banyak tahu tentang realisasi kurikulum ini di dalam kelas—masih mengacu pada content base, sehingga sebaik-baik kurikulum yang dibuat oleh pemerintah tidak mampu distabilkan dalam konteks belajar mengajar. Kurikulum tersebut pada gilirannya menyerupai tendensi strategi pembelajaran yang adhoc dan statis.
Dalam hal ini, kurikulum masih sekedar berada dalam—apa yang pernah sebut Freire—sebagai Banking Concept of Education. Secara praksis, analogi ini bersejajar dengan pemberdayaan kurikulum yang selama ini dicoba untuk diterapkan. Dalam beberapa laporan akhir-akhir ini, disebutkan bahwa penggunaan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) secara tepat hanya dapat dilakukan oleh tiga institusi pendidikan (sekolah) di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa rendah tingkat pelaksanaan metode dan strategi pembelajaran yang berkualitas, walaupun pemerintah Indonesia telah merubah beberapa kali kurikulum di negeri ini.
Hal ini juga disebabkan oleh beberapa kasus yang terjadi hampir di seluruh sekolah Indonesia, yaitu merebaknya buku-buku paket (pelajaran). Munculnya buku-buku ini, pada satu sisi, dapat menguntungkan pihak sekolah, terutama menyangkut pembangunan dan perlengkapan institusional. Namun, di sisi yang lain, buku-buku yang kebanyakan diproduksi oleh penerbit-penerbit di beberapa kota, tidak sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku. Sehingga, pengajaran kepada siswa melalui buku-buku itu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada juga diantara buku-buku ini yang seharusnya dijadikan pedoman, akan tetapi ada beberapa guru tidak bisa menggunakannya. Meskipun, buku-buku tersebut sudah diberi label dengan pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi, walaupun nyaris tidak ada buku yang menggunakan silabus yang sebelumnya disusun. Padahal, dalam pelaksanaan KBK, setiap buku yang dijadikan referensi atau materi pelajaran harus disusun silabus terlebih dahulu oleh sekolah atau daerah setempat.
Dalam katerkaitan ini, dari beberapa kasus tersebut tentunya akan berdampak besar pada kepribadian siswa, khususnya tensi keilmuan dan skill yang diperoleh. Jika guru masih tetap “sepenuhnya” menggunakan buku-buku tersebut (tanpa didasarkan pada pendekatan kurikulum dan strategi yang efektif), maka yang selama ini dikhawatirkan oleh Freire tadi akan benar-benar terjadi; proses belajar-mengajar yang stagnan dan sama sekali tidak demokratis. Para siswa hanya dapat merasakan pelajaran-pelajaran yang diterimanya melalui metode instruksional semata. Dr. Nana Sudjana mengatakan “suasana belajar yang demokratis akan memberi peluang mencapai hasil belajar yang optimal, dibandingkan suasana belajar yang kaku, disiplin yang ketat dengan otoritas ada pada guru”. Dengan demikian, diperlukan strategi pembelajaran yang mampu memberikan pengaruh positif pada siswa dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Terlepas dari itu, selain implementasi kurikulum pendidikan di sekolah yang cenderung keliru, ada juga kasus yang cukup besar dan sedang diderita oleh hampir seluruh siswa sekolah formal ataupun non formal di Indonesia adalah problema minimnya minat baca siswa dari hari kehari. Baru-baru ini, ada informasi menarik perihal kondisi budaya (mem) baca di kalangan siswa Indonesia pada umumnya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Taufiq Ismail dan Tim dari Majalah Sastra Horison, menghasilkan temuan yang cukup sensasional. Hasil penelitian yang pada akhirnya dipublikasikan secara luas itu, menjelaskan tentang wajib baca buku sastra selama 3 dan 4 tahun terakhir di 13 negara. Hasilnya menurut Taufiq Ismail, buku sastra yang wajib dibaca di SMA Thailand adalah 5 buku, SMA Singapura 6 buku, SMA Brunei Darussalam 6 buku, SMA Rusia 12 buku, SMA Kanada 13 buku, SMA Swiss 15 buku, SMA Jepang 15 buku, SMA Jerman 22 buku, SMA Prancis 25 buku, SMA Belanda 30 buku, SMA Amerika Serikat 32 buku dan yang terakhir SMA di Indonesia 0 buku.
Temuan yang sensasional di sini adalah wajib baca buku sastra Indonesia hanya 0 buku. Padahal, dalam masa sejarah yang lampau, pelajar Indonesia pada zaman Kolonial Belanda (pelajar AMS Hindia Belanda, setingkat SMA) diwajibkan membaca kurang lebih 25 buku sastra. Tentunya, kurangnya minat membaca buku bagi siswa ini pelan-pelan akan menghilangkan optimisme bangsa yang sedang ‘mengimpikan’ generasi-generasi berkompeten. Lebih jauh, decreasing ini akan mengubur peradaban Indonesia yang dulunya sangat mencintai karya-karya yang kreatif.
Dalam konteks ini, keprihatinan akan pudarnya budaya baca di kalangan siswa lebih disebabkan kurangnya motivasi, baik dari dalam atau luar diri siswa. Motivasi untuk meningkatkan minat baca tidak saja dipengaruhi sejauh mana keinginan dan cita-cita siswa itu tumbuh, tapi juga adanya dorongan orang tua, lingkungan dan terutama pengelola pendidikan dimana siswa menuntut ilmu. Faktor pendidikan adalah pengaruh (dorongan) utama untuk meningkatkan minat baca di kalangan siswa. Hal ini disebabkan, sekolah (lembaga formal pendidikan) adalah tempat dimana siswa mendapat ilmu pengetahuan dari pelbagai sumber buku. Sekolah juga merupakan tempat edukatif-informatif-dokumentatif bagi siswa dengan pelbagai buku yang telah disediakan. Nuansa kependidikan tentunya lebih besar di sekolah, daripada lingkungan (tempat) lain.
Akan tetapi, saat ini yang menjadi persoalan adalah: bagaimana menformat sekolah sebagai lembaga yang benar-benar melayani siswa dalam menumbuhkan minat baca? Strategi apakah yang seharusnya diimplementasikan agar siswa terus dapat membudayakan kegiatan membaca tersebut? Padahal saat ini, pendidikan masih gagap untuk melakukan perubahan strategi pembelajaran. Sampai saat inipun, strategi pembelajaran yang dilakukan oleh pihak sekolah (baik guru atau dewan sekolah) tidak maksimal, bahkan nyaris tidak sama sekali memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam konteks interaksi KBM. Bagaimana peran sekolah seharusnya memberikan peluang besar agar dapat menumbuhkan selera dan minat baca bagi siswa?
Hal ini diakui, karena tradisi membaca tidak menjadi satu hal yang krusial yang mesti diperhatikan oleh pihak sekolah. Mayoritas sekolah lebih menerapkan bagaimana proses belajar mengajar berjalan "apa adanya" dan "ala kadarnya". Tanpa memperhatikan sejauhmana tingkat emosi siswa dalam menelaah buku-buku pelajaran dan literaur-literatur lain yang dianggap sangat penting.
Fenomena tersebut sejatinya merupakan persoalan “pelit” yang tidak boleh dibiarkan. Kemajuan anak didik pada klimaksnya adalah menjadi tanggungjawab tenaga pendidik. Dari sinilah, pada akhirnya persoalan profesionalitas dan kematangan seorang guru menjadi sebuah keniscayaan? Salah satu pertanyaan yang sangat mendasar ; apakah selama ini para tenaga pendidik sudah mampu berfikir masa depan anak didik menjadi lebih menjanjikan?

Wajah Muram Pendidikan Kita
Akhirnya setelah kita merasakan betapa pelik persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita, hanya ada satu kata yang bisa terucap; kenapa kok bisa begitu?
Pertanyaan yang tidak main-main dan seyogyanya menuntut untuk direnungkan dan dikaji secara kritis kritis. Kalau Darmanigtyas (1999: 158-159) selalu melontarkan kritik tajam terkait dengan perjalanan pendidikan di tanah aiar, mengapa kita –sebagai abdi pendidikan- tidak pernah mau peduli dengan kondisi pendidikan? Bagaimanapun persoalan pendidikan adalah persoalan kita bersama. Persoalan adalah suatu hal yang niscaya. Tidak hanya di ranah pendidikan, di mana saja, disemua jalur kehidupan pasti ada yang namanya persoalan -problem. Karena persoalan pada puncaknya akan mengantarkan pada titik kedewasaan. Dewasa dalam berfikir dan memutuskan suatu kebijakan. Dan, mungkin seperti itu nilai dasar dari lahirnya pendidikan ke tengah-tengah umat manusia. Pendidikan ada, lantaran ingin memberikan regulasi kedamaian, ketajaman menganalisis persoalan, menatapkan komitmen dan semangat dalam menatap masa depan. Satu hal yang mungkin harus selalu dibaca, pendidikan setidak-tidaknya mampu merubah perilaku berkehidupan kita lebih humanis. Pertanyaannya ; sudahkan kita menemukan maqam itu?
Seperti diyakini oleh banyak orang, bahwasanya pendidikan telah mampu menerobos dimensi dan ruang kehidupan. Dengan pendidikan orang akan mampu memformat perjalanan kehidupanya menjadi lebih baik. Bahkan dalam dogma agama dengan tegas dinyatakan bahwa pendikan adalah semata dalam memperoleh dua keberuntungan sekaligus, yaitu keuntungan di dunia dan akherat.
Pada satu sisi, kita mungkin bisa melihat betapa pendidikan akan menjadi ruh tersendiri dalam membangaun dan menyukseskan berbagai macam agenda besar kehidupan. Tidak hanya itu, pendidikan sering kali dipolas menjadi satu agenda besar yang respek akan persoalan kemanusiaan. Akhirnya ada wacana yang berkembang, hanya orang berpendidikan saja yang akan mampu berfikir dewasa. Sementara yang terjadi di lapangan? Kita mungkin bisa menyaksikan betapa impian-impian yang kita idealkan tidak pernah terwujud dan hanya menjadi guntur dalam gemuruh siang yang tidak pernah mendatangkan hujan. Kisah Tomo di awal tulisan ini menjadi potret yang “tidak enak” untuk dibaca. Masihkah kita akan mempercincangkan makna hakiki hadirnya pendidikan?
Sementara persoalan pendidikan dari hari ke hari makin meruncing dan membiaskan kegelesahan tersendiri. Pendidkan semakin menjadi ladang pelampiasan ego dan kepentingan sesaat, yaitu kepentingan yang tidak bisa lepas dari masalah kekuasaan. Kekuasaan memang selalu menjadi bumerang dan menghancurkan tata nilai suci yang terbangun sebelumnya. Kita mungkin tidak percaya saat ada sinyalemen yang menyatakan bahwa dunia pendidikan kita telah rapuh dan digerogoti oleh virus-virus yang membahayakan. Pendidikan yang dulu sering kita gaungkan sebagai pembebas dan pembedah kejumudan berfikir dan gaya hidup, sepertinya menjadi indikasi awal akan terburainya tataberkehidupan yang lebih menjanjikan. Jika realitasnya memang demikian, maka sudah saatnya bagi semua pihak untuk mencoba duduk dalam satu bangku, guna mendialogkan persoalan-persoalan kritis dan pelik tersebut. Hanya dengan dialog, akan ditemuakan titik solusi cerdasnya, sehingga problem pendidikan tidak akan menjadi bisul-bisul yang tidak tidak pernah bisa disembuhkan. Dengan dialog pula, ragam ide dan gagasan segar akan bersatu dan menjadi jawaban transformatif guna merumuskan solusi yang benar-benar menjanjikan.

Penutup: Kembali Pada Kefitrian Nilai
Sumbang ide dari berbagai pihak pada skala yang dimensional sangat dibutuhkan. Sangat diharapkan guna perbaikan stabilitas pendidikan di Indonesia. Lebih-lebih di wilayah lokal –Sumenep- ini. Peta pendidikan tanah Air Wiraraja dalam perjalanannya masih tidak mampu memolas diri dengan ciri khas yang benar-benar beridentitas. Artinya, pendidikan kita masih setara dengan perjalanan pendidikan di belahan dunia, yaitu berjalanan sejalur dengan peta jarum pusat. Kesana kemari, harus mempertontonkan peraturan yang menurut penulis masih berwatak bisnis oriented, tidak memerdekakan dan memberikan otoritas penuh kepada pengelola pendidikan untuk merumuskan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Padahal kita sangat mendambakan pendidikan menempati pada posisinya sebagai media pada gilirannya akan mampu memberi nuansa lain bagi dinamika pemikiran dan tata berkehidupan.
Kita mungkin harus terus melakuakan pengkajian dan pemberdayaan atas laju pemikiran umat mengenai pendidikan. Pendidikan bukanlah setumpuk buku dengan perangkat aturan formalitas. Pendidikan bukan ruang kelas dengan segepok uraian dalam teks ujian. Pendidikan seutuhnya adalah proses mendewasakan pemikiran manusia. Tujuan hakiki pendidikan adalah memberikan kebebasan kepada sesama untuk berbenah dan menentukan masa depannya. Untung jika mampu membuncahkan spirit dalam menemukan dirinya sebagai hamba Tuhan di muka bumi.
Akhirnya, pendidikan sudah saatnya menjadi intsrumen bagi gerak perkembangan dan perubahan. Pendidikan harus mampu menjadi tiang penyangga dari semua konsep kemanusiaan. Maka menjadikan pendidikan sebagai eksosodus dan ekosistem yang terus hidup dalam sanubari bukan suatu hal yang memalukan. Pendikan memang seharusnya menjadi ruh dalam menjalani kehidupan ini. Namun apa kiranya yang benar-benar compatible dari pendidikan yang sering kita jumpai. Ada beberapa hal yang harus kita gelorakan dalam rangka menata dunia pendidikan agar lebih lebih baik :
Pertama, jangan menjadikan dunia pendidikan sebagai tempat bisnis. Adalah sebuah fakta, sekolah yang kita miliki jumlah siswanya dari TK sampai SMTS per tahun rata-rata 37 juta adalah pansa pasar yang cukup lumayan meraup keuntungan. Lembaga sekolah dan guru sering mengambil kesempatan dalam sebuah kegiatan.
Kedua, kuatkan semangat untuk menciptakan masa depan pendidikan lebih berwibawa. Hal penting yang harus diingat oleh pihak pengelola pendidkan (baik pemerintah daerah atau pusat), yakni membangun sektor pendidikan tidak cukup hanya dengan menghamburkan biaya, namun membutuhkan startegi yang jitu (Grand Strategy) untuk memecahkan berbagai perosalan pendidikan. Menurut Indra Jati, pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan pengingkatan hidup. Dalam bahasa agama, demi memperoleh ridla atau perkenan Allah.
Sedangkan menurut Zakiah Darajat pendidikan adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup. Persoalan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama, bukan hanya satu pihak. Maka Grand Strategy yang harus dilaksanakan setidaknya harus mampu menyentuh pada seluruh sektor
Oleh karena itu, semua kembali pada komitmen bersama untuk membangun dan mewujudkan impian-impian gemilang itu. Tanpa itu semua –mungkin- impian untuk mewujudkan masa depan pendidikan yang demilang hanya akan menjadi wacana. Maka, Pendidkan harus selalu dikaji sampai kita tidak lagi menemukan kebobrokan yang menghancurkan nilai suci keberadaannya. Tapi, semua tergantung dari kita bagaimana meresponnya.

 

 Back To Daftar Isi

Pendidikan di Ujung Tanduk Kekuasaan

Moh. Yamin

Moh. Yamin lahir di Sumenep Madura 16 Juli 1980, sekarang berdomisili di Malang. Alumni Universitas Islam Malang (Unisma) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Bahasa Inggris. Menerjemahkan buku antara lain: (1) Tumbal Modernitas diterbitkan IRCISoD Jogjakarta tahun 2001 (2) Sosiologi Agama diterbitkan IRCISoD Jogjakarta tahun 2002 (3) Menulis buku saku English Convesation diterbitkan Diva Press Jogjakarta (4) Menulis buku Pendidikan Kehilangan Arah (proses finishing). Menulis opini, esai dan resensi di pelbagai media massa baik lokal maupun nasional (Koran Pendidikan, Malang Post, Duta Masyarakat, Banjarmasin Post, Radar Banjar, Bali Post, Majalah Syir’ah, Sinar Harapan, Suara Karya, Surya, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Kompas, Sumut Pos, Suara Pembaruan dan banyak lain). Sekretaris BASIS PMII Cab. Malang 2006-2007. Ketua Divisi Penerbitan & Publikasi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Kota Malang 2006-2011. Pernah Mengajar di SMA Wahid Hasyim Malang. Menjadi Anggota Tim Pemantau Independen (TPI) Ujian Nasional (UN) di Kabupaten Malang tahun 2007. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

Sembilan tahun berjalan hingga kini sejak reformasi 1998 digelindingkan dengan sangat hebatnya sebagai jawaban kekecewaan, dan kemarahan rakyat terhadap Orde Baru yang telah membungkam mulut rakyat berbicara, bersuara dan kemudian menghantarkan Soeharto turun tahta kepresidenan pada tanggal 22 Mei 1998. Ini terjadi pasca rakyat berteriak lantang menuntut turunnya Soeharto dengan dibidani oleh kalangan mahasiswa. Dan ini kemudian disambung dengan pemerintahan presiden saling gonta-ganti mulai B.J Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ternyata keadaan pendidikan di negeri ini tidak semakin menemukan titik kejelasan dan kebaikannya.

Pendidikan berjalan di tengah kegelapan antah berantah, dan akhirnya terjebak pada kebusukan, dan pembusukan nilai-nilai pendidikan. Pendidikan mengalami stagnasi, pasivitas, dan berjalan di tempat. Bahkan kita juga mendapati, pendidikan berada dalam bangunan konsep yang hambar konsep sehingga ia latah dalam ketidakberdayaan, dan ironis dalam gerakannya. Ia berkubang di tengah arus keadaan, dan suasana memedihkan sekaligus menyakitkan tatkala politik nasional, dan elit lapis atas turut menyumbangkan keikutsertaannya dengan saling menampilkan gejala saling sikut menyikut, tuding menuding, dan saling jatuh menjatuhkan atas nama golongan tertentu sektarian, mengutip pendapat William Liddle.

Ini, mau tidak mau, menyebabkan gerakan perjuangan pendidikan sebagai pencerdasan, pencerahan terjungkal ke belakang, kemudian kehilangan nilai-nilai teriakan maha dahsyatnya guna meneguhkan bangunan kecerdasan, pencerahan untuk bersama, ia pula akhirnya terkapar dalam jurang kehinaan, dan kenistaan. Pendidikan diperkosa, digerayangi, dan di(ter)bungkus oleh sebuah virus kekuasaan lantaran sang penguasa selama bertahun-tahun ke depan ini sejak angin reformasi ditiup sudah sama-sama berprinsip, dan berpandangan politik kerdil untuk berkuasa, menguasai, mempertahankan kekuasaan, dan bukan memberdayakan politik sebagai media perjuangan rakyat sekaligus kerakyatan. Pada akhirnya, raungan dan teriakan pendidikan pun sebagai alat mengangkat harkat, dan martabat kemanusiaan menjadi di(ter)sunat, di(ter)potong, dan di(ter)gergaji oleh mesin politik segelintir orang kuat dalam “hal tertentu” dengan tujuan agar tidak menggoyahkan kelompok status quo.

Anehnya lagi, dalam konsep pendidikan yang dihasilkan adalah pendidikan kekuasaan, bukan lagi pendidikan pemberdayaan. Sehingga pengejaran kekuasaan dengan memediakan diri pada pendidikan pun tidak bisa terelakkan, dan terbantahkan. Sehingga pendidikan pun diarahkan, dan dirubah struktur serta suprastrukturnya menjadi kuda perahan yang siap dinaiki oleh siapapun, kelompok manapun selama memiliki kuncinya. Kuncinya adalah kekuasaan, modal, dan diramu dengan kelicikan. Diiyakan maupun tidak, hal tersebut terjawab dengan mengamati, membaca, menelaah, dan menafsirkan rumitnya persoalan pendidikan, simpang siurnya memaknai pendidikan, dan semrautnya memahami pendidikan oleh banyak lapis masyarakat.

Pelbagai lapisan masyarakat memberikan ilustrasi pernyataan bahwa pendidikan berpijar pada ruang-ruang kehidupan yang tidak memiliki eksistensi berbicara, dan berbuat untuk masyarakat. Pendidikan justru takzim pada sang penguasa pasca kita memerhatikan konsep yang diciptakannya adalah komoditas pendidikan, pendidikan politik kekuasaan menurut Benny Susetyo, dan seterusnya. Pendidikan menghambakan diri sebagai pelayan penguasa, dan kekuasaan. Ia memelacurkan diri untuk direngguh keperawanannya. Dan ia lalu diciptakan, dihadirkan sebagai jembatan menguntungkan pihak kalangan tertentu, yang sangat tebal kekuasaan, sangat kebal hukum, tuli pada tangisan rakyat yang sedang gelisah serta resah dengan nasibnya, dan buta terhadap realitas masyarakat yang miskin.

Oleh karena itu, mempermasalahkan kerumitan pendidikan secara konsep dasarnya, kesimpangsiuran pemaknaan pendidikan secara filosofis, dan kesemrautan pemahaman secara epistemologis lantaran telah memperburuk suasana di tengah masyarakat menjadi tanggung jawab maha penting, utama, dan paling utama karena itulah entri-entri poin yang bisa mengantarkan kita pada pemahaman persoalan pendidikan secara holistik.

Komplikasi Pendidikan Konseptual
Rumitnya pendidikan tersebut berkelindan dengan pemerintah yang tidak serius memberikan arah yang jelas terhadap apa yang seharusnya diinginkan oleh pendidikan nasional. Seolah, yang ada adalah kegamangan, dan kehambaran dalam merumuskan tujuannya itu. Diakui maupun tidak, ini telah menyebabkan kondisi pendidikan kita tertatih-tatih di pusara kehidupan yang tidak jelas juntrungnya. Pendidikan kita berputar-putar pada arah yang tidak sampai akhir sehingga ia lalu berujung pada siklus tanpa tujuan, dan arah. Ia bagaikan lingkaran setan yang tak bisa ditebak tujuan, dan kehendaknya karena setan itu adalah mahluk halus ciptaan Tuhan yang sukanya mengganggu kehidupan manusia, dan tidak bisa dijamah oleh manusia seperti kita.

Adanya pendidikan mahal, perdagangan pendidikan, dan memproduksi produk pendidikan untuk diserahkan kepada pabrik-pabrik serta perusahaan agar bisa dipekerjakan adalah satu ironi yang secara terus menerus membayangi ketakutan, dan kekhawatiran bahwa pendidikan akan mengalami kemunduran, dan keterbelakangan. Pendidikan akan surut, dan terbengkalai di pinggiran kehidupan yang tidak mencerahkan, dan membangun. Pendidikan akan semakin terbawa arus komersialisasi, dan elitis sehingga pemilik pendidikan adalah kelompok berduit, dan berkantong kekuasaan. Pendidikan berkualitas dimiliki, dan hanya dijamah oleh segolongan orang yang mewah, berprevilise tinggi, dan merupakan bagian dari kalangan elit lapis atas an sich.

Pendidikan hanya bisa diakses oleh mereka yang kebetulan maupun tidak sedang naik jabatan, kekuasan, harta, dan lain seterusnya. Secara terus menerus, pendidikan disidangkan pada meja bundar kehidupan yang tidak membawa akurasi, dan ketepatan berpijak, melangkah, dan bergerak. Justru ia ikut-ikutan pada atmosfir politik kekuasaan yang begitu hegemonik, mengutip pendapat Antonio Gramsci. Kecenderungan yang menimpa, dan membungkus pendidikan, sejalan dengan pendapat Antonio Gramsci pula, adalah pendidikan bergerak, berjalan, dan berlabuh pada titian-titian perjalanan riskan serta sarat resiko, dan bertendensi menjerumuskan pendidikan pada nasib destruktif, dan anarkis.

Pendidikan diberangus oleh sebuah kekuasaan maha perkasa, dan maha monster yang tidak jelas secara fisik, namun sangat kuat secara ide, dan gerakan pemikiran. Pendidikan diguncang, dirasuki, dan digaduhi oleh satu bangunan pemikiran yang berasal-muasal dari kelompok bersembunyi, namun kelihatan orang-orangnya. Dan pendidikan di tanah air ini sudah mengalami keadaan buruk bentuk, dan isinya dengan telah mencermati segala tindak tanduk kekuatan yang berlindung di balik pendidikan tanah air Indonesia. Tentunya ini dikomandani oleh golongan penguasa hegemonik dan karena itu pulalah kemudian melumpuhkan agenda perjuangan pencerdasan.

Ahirnya ini lalu mencarut marutkan tatanan kebangsaan yang coba dipertahankan sehingga Indonesia berada dalam bingkai yang ricuh. Dan kondisi parah demikian semakin hari, bulan, dan tahun kian kuat bertengger di Indonesia. Seolah gerakan beranjak dari ruang keterjungkalan tidak bisa ditawar-tawar lagi, dan memang seharusnya diterima secara taken for granted. Melawan arus politik kekuasaan tersebut seakan sudah kehilangan kekuatan karena ibarat seekor semut melawan seekor gajah besar. Politik kekuasaan yang digadang-gadang oleh Benny Susetyo semakin kuat, kokoh, dan mapan di pemerintahan Republik Indonesia mulai zaman ke zaman. Tidak ada kemampuan menghantamnya, minimal mengurangi volume kekuataan yang sedang bergerak itu.

Bayangkan saja, adanya pendidikan yang katanya gratis, murah meriah seolah hanya satu slogan politik kekuasaan yang menyimpan bara api yang siap membakar, dan membunuh kehidupan masa depan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tampak kasat mata, pendidikan murah meriah, dan gratis menyedot ketertarikan masyarakat, membuat mereka terkesima dengan sejuta bayangan, dan khayalan, dan kemudian menyebabkannya bermimpi-mimpi banyak hal seputar nasib ke depan. Padahal itu semua hanya jargon berlumurkan kelicikan belaka, dan tak akan pernah terealisasi dengan sedemikian riilnya. Kembali pada kunci seperti kekuasaan, modal, dan kelicikan sebagaimana disebutkan di atas, maka penguasa di pemerintahan zaman ini sudah melakukan strategi politik seperti itu agar masyarakat menganggap, dan memandang pemerintah telah memiliki daya upaya memperbaiki kehidupan rakyatnya.

Supaya rakyat Indonesia memiliki satu penilaian positif bahwa pemerintah itu sedang berpihak, dan berjuang untuk masyarakat, bukan hanya semata memperjuangkan serta mempertahankan status quonya di puncak menara kekuasaan, dan menara gading. Jadi, rumitnya pendidikan dengan sedikit membuka fenomena-fenomena kehidupan di bangsa ini sudah sedikit pula menarik tabir kegelapan. Pendidikan dengan sangat nyatanya sedang dililit oleh satu konsep pendidikan yang penuh dengan anarkisitas, dan destruktifitas di banyak dimensi ruang dalam dunia pendidikan itu sendiri.

Ini semakin kentara bila publik mau jujur, dan juga terbuka mengatakan bahwa selama ini sejak empat presiden pasca reformasi menyentuh ruang kekuasaan, dan menduduki kursi pemerintahan, mereka tidak pernah memiliki komitmen serius dalam membenahi kocar kacirnya pendidikan secara konseptual. Justru mereka sibuk mencari celah untuk memasukkan kepentingan kekuasaan, dan politik masing-masing ke kantong-kantong pendidikan. Ideologi-ideologi sektariannya ingin dibumikan, dan ditanamkan secara kuat, dan mendalam agar mengesankan bahwa pendidikan adalah hasil golongan ini, dan bukan itu. Produk pendidikan merupakan hasil kerja, kinerja, dan perjuangan mati-matian dari si A atau si B, dan seterusnya.

Ini secara terus menerus terus terjadi di tengah masa depan pendidikan kita ke depan, tidak pernah ada satu nalar berpikir jauh ke depan bahwa pendidikan adalah milik bersama, dikonsumsi oleh rakyat di pelbagai kelas sosial, dijalankan-pelajari oleh banyak status sosial di semua penjuru daerah baik kota maupun desa, miskin maupun kaya, dan seterusnya. Akhirnya, seolah pendidikan dikehendaki ditarik pada satu jalan sempit yang terjal, dan berkerikil tajam, serta ini sarat dengan marabahaya. Ketika keadaannya sudah sedemikian terpuruknya, pendidikan yang rumit pun semakin, dan bertambah rumit. Keberadaannya sangat mengkhawatirkan, dan berpotensi penuh komplikasi yang membahayakan lantaran pendidikan sudah berwarna gelap gulita, abu-abu, dan tidak mempunyai satu warna yang pasti, terang, dan jelas bahwa pendidikan itu untuk siapa, dan apa. Kendatipun memiliki satu warna, dan ataupun berwarna, ini sangat dipertanyakan eksistensinya karena sudah tidak menentu, dan tidak jelas orisinalitasnya.

Yang pasti, kerumitan tersebut akan kian memperkeruh suasana, dan keadaan pendidikan yang akan, dan dilangsungkan itu di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, dan berbangsa Indonesia. Kita lalu didoktrinasi oleh pendidikan yang tidak mendidik, namun membunuh hajat hidup orang banyak, membodohi sekaligus membodohkan. Pendidikan tersebut memaksa, dan menghendaki untuk sama dengan konseptor pendidikan yang merumuskan itu, tidak boleh ada perbedaan, dan keberbedaan baik rumusan pemikiran, visi misi, dan lain seterusnya.

Justru, dipersilahkan secara absolut untuk menirukan secara tindakan praksis apa yang ada di dalam muatan-muatan konsep pendidikan tersebut yang sebetulnya sedang dipertanyakan validitasnya karena tidak mengakomodasi banyak pemikiran, pikiran, dan ide-ide lainnya. Suka maupun tidak, arah gerakan pendidikan terkibiri oleh golongan yang kehadirannya di tengah masyarakat hanya untuk mengambil keuntungan. Mereka mengejar, mencari, dan mendapati akses kekuasaan lantaran ada kemauan politik kekuasaan yang tidak sehat. Kemauan politik tersebut sangat busuk, kerdil, dan sempit pandangan. Yang ada dalam otak, pikiran, dan pandangan mereka adalah harus dengan sebisa mungkin merengkuh sebanyak mungkin keuntungan sebelum kekuasaaan itu meninggalkannya.

Akhirnya, memanfaatkan kekuasaan sebelum berakhir adalah sebuah keniscayaan yang tak boleh disia-siakan dengan begitu saja. Ini perlu dilakukan pendayagunaannya dengan secermat, dan seakurat mungkin. Tidak mungkin ada kesempatan lain setelah kekuasaan pergi, dan mustahil akan datang menghampirinya lagi. Pepatah lama mengatakan, kesempatan itu tidak datang dua kali, jadi harus pintar, dan cerdas dalam melihat sebuah peluang yang ada di hadapan kita. Karenanya mencermati, dan menyoroti seputar kerumitan pendidikan yang ada tersebut, ini sangat mustahil membawa bangsa ini pada bangunan hidup, dan kehidupan yang membaik, konstruktif, dan sehat.

Sebaliknya, ia akan berujung pada bangsa yang semakin parah dengan segala penyakit kehidupan multidimensional, mundur, kembali ke masa lampau, dan akhirnya tetap menjadi bangsa di nomor urutan buncit. Semua mengiyakan bahwa kerumitan pendidikan tersebut telah melahirkan tatanan yang chaos. Rakyat semakin bodoh, goblok, tidak tahu menahu tentang dirinya, dan apa yang harus diperbuat demi menyongsong masa depan yang cemerlang. Kerumitan pendidikan turut mengontribusikan satu paradigma berpikir yang abu-abu, menciptakan sebuah fase kebangsaan Indonesia yang kebingungan, membuat masyarakat linglung dengan kebingungan diri tentang apa warna merah, putih, hitam dan apa itu benar, salah, baik, buruk, dan lain seterusnya.

Akhirnya, ini dengan segala efek anak pinaknya memuncratkan satu permasalahan baru yang lebih rumit, kompleks, dan menegangkan. Pendidikan bukan lagi bisa dipersiapkan mendidik, melatih, dan membelajarkan masyarakat berbuat, berbicara, dan bersikap yang benar secara moral, betul secara etika, dan baik secara agama. Pendidikan terbungkuk-bungkuk di bawah ketiak kekuasaan politik yang sedang berkuasa. Ia tidak bisa, dan mampu melebarkan sayap-sayap kekuatan pencerdasan, dan pencerahannya. Ia hanya bisa mengamini, dan mengiyakan apa yang dititahkan oleh penguasa kepadanya. Artinya, pendidikan bertekuk lutut di hadapan penguasa yang sedang mengendalikannya untuk bertindak sesuai dengan keinginan, dan kepentingan pemilik kekuasaan tersebut.

Ironisnya, ini kian waktu secara membabi buta berjalan semakin angkuh, dan congkak. Karena sudah tidak ada kelompok yang coba menghadangnya. Rakyat sudah pikun dengan pemikirannya lantaran tidak memiliki kedewasaan, dan kematangan dalam berpikir. Mereka kalut, dan pusing dengan nasibnya yang sedang hambar itu. Sehingga pendidikan harapan ideal, dan satu-satunya pun sudah direbut oleh sang penguasa di teras pemerintahan. Oleh karenanya pula, kerumitan pendidikan yang sudah mencabik-cabik niatan, dan tujuan adi luhung untuk mengarungi rakyat tercerahkan menjadi gagal. Karena kerumitan yang ada itu tidak hilang, namun kian bertambah besar, dan menguat di segala penjuru angin.

Keniscayaan ini kemudian menghadirkan sebuah perilaku pendidikan yang berkecenderungan tidak konsisten dengan prinsip dasarnya. Apabila pendidikan adalah diperuntukkan buat kemanusiaan, malah dipersiapkan bagi kebiadaban kemanusiaan. Ia dihela untuk bertingkah dengan tidak benar, tidak waras, dan berulang-ulang bersandar pada bagaimana saling menguasai, menindih, dan menjatuhkan atas nama keuntungan pribadi, dan golongan. Senyatanya, ini selanjutnya berpotensi menyebabkan pendidikan yang diharapkan bisa merubah nasib dari buruk menuju baik hanya sebuah impian belaka. Pendidikan seolah rumusan-rumusan pemikiran melangit, namun tidak pernah membumi karena sesuatu yang melangit itu tidak akan sampai ke bumi disebabkan yang sampai ke bumi adalah kebohongan, kemunafikan, dan kepalsuan.

Iya maupun tidak, mengamininya adalah sebuah keharusan karena itu yang sedang merealitas di zaman ini. Sehingga adanya kerumitan pendidikan tersebut ibarat akar serabut yang tidak bisa dicabut dengan semudah membalikkan telapak tangan. Ia bisa diangkat ke permukaan, dipotong-potong, dan dicari akar persoalannya bila penguasa pemerintahan dihengkangkan dari kursi kepenguasaan, dan kepemerintahannya. Pertanyaannya adalah mampukah melakukan aksi revolusi itu disaat rakyat dalam keadaan lesu, lemas tanpa pil vitamin yang kuat? Yang jelas, tindakan tersebut sia-sia saja, tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kenekatan yang berbuntut pada bunuh diri, siap mati, gagal, dan menerima kekalahan secara taken for granted.

Dengan kata lain, berjuang tanpa persiapan matang akan menelan pil pahit kekalahan. Namun terkadang sayangnya, ini kemudian berhenti di tengah jalan, tak sampai pada tujuan akhirnya, dan macet total seiring dengan pesimisme hidup yang kian menguat di jejaring kehidupan masyarakat kita. Lantaran pemerintah tidak memberi dukungan penuh dalam pendidikan pencerdasan, dan pencerahan. Pemerintah seolah tidak ambil peduli, dan perhatian bagaimana sebetulnya perlu membenahi dunia pendidikan. Justru ia ambil partisipasi ketika ada kemauan politik sebagai sebuah pemihakan pada golongan tertentu. Ini disambung dengan satu kehendak politik menguasai, dan menindih yang lain agar tidak cerdas, dan tidak mengganti posisinya ke depan.

Rumusan berpikir, dan bergeraknya adalah menghalau, menghadang, dan menutup jalan untuk orang lain maju ke depan karena mereka berkepentingan untuk jalan itu agar mereka lebih maju dari pada yang lain. Sehingga ini, suka maupun tidak, dapat mendorong kelompok itu sendiri lebih cerdas, maju, pintar, lebih menguasai medan kekuasaan sedangkan lainnya tetap berada di bawah pengendalian kekuasaannya. Ini akhirnya menjadikan yang lain itu tetap sebagai kalangan bawahan, dikendalikan, dan disetir oleh kelompok berkuasa itu. Akhirnya, yang kalah tetap kalah, yang miskin tetap miskin, dan yang tak karuan semakin menjadi tidak karuan. Oleh karenanya, munculnya satu kerumitan pendidikan sedemikian ini akan menebalkan satu kegentingan hidup di tanah air Indonesia karena selalu terbawa pada arus suasana, dan keadaan yang sangat tidak menyehatkan serta sehat. Keadaan lingkungan ricuh, labil, dan kehilangan maknanya guna membantu terbentuknya bangunan kebangsaan berparaskan nilai-nilai kebaikan, kecerdasan, keadilan, dan seterusnya.

Kerumitan pendidikan lantaran tiada sempurnanya sebuah konsep pendidikan yang jelas akan memperkeruh suasana di tengah masyarakat. Bangunan pendidikan nirkonsep tersebut secara sekonyong-konyong akan menelantarkan rakyat, dan bangsa Indonesia ini sehingga kondisi demikian itu meluluhlantakan cita-cita ideal, yakni bangsa, dan masyarakat madani. Diakui maupun tidak, karena kerumitan pendidikan tersebut pula akhirnya melahirkan satu kericuhan, dan kegaduhan di belantara bermasyarakat, dan berbangsa. Masyarakat akan terpelanting jauh ke belakang. Mereka tidak mampu menggerakkan nalar berpikir, dan kekuatannya untuk menegakkan yang benar, meneguhkan sesuatu yang adil, dan mempertahankan nilai-nilai pendidikan sebagai agen perubahan sosial, dan bangsa ini menuju era baru; era yang bernafaskan dengan jiwa, spirit, dan pergerakan progresif serta inovatif.

Keniscayaannya adalah kerumitan tersebut kerap menjadi bumerang, dan penghalang demi adanya pendidikan yang coba mampu mengangkat harkat, dan martabat bangsa. Kerumitan tersebut hanya ada, dan diadakan demi mengacaukan suasana kehidupan yang sebetulnya ini tidak harus dikacaukan dengan itu. Sehingga ini, suka maupun tidak, melemahkan tali-temali yang siap disambung guna merekatkan etos perjuangan, dan kejuangan dalam menyongsong bangsa merdeka, adil, dan bebas dari segala telingkungan. Ini pula menyudutkan masyarakat pada tempat yang sangat menggetirkan, dan mengenaskan. Mereka lemah, kehilangan daya gerak serta pergerakannya, dan pula kekeringan denyut berpikir yang berparadigma kritis, transformatif.

Ini, semua sepakat, akan menggadaikan nilai-nilai pendidikan adiluhung di hadapan para penguasa. Karena dengan begitu, penguasa akan coba memelintir keadaan yang sudah rumit, Ia akan kian mudah, dan sangat gampangnya menciderai sesuatu hal yang suci, dan mulia. Dengan kata lain, tatkala pendidikan sedang berada dalam nasib tragis, pendidikan belum, dan tidak memiliki konsep mapan dalam bergerak guna menampilkan dirinya untuk masyarakat, dan bangsa. Ini disebabkan oleh sebuah keterjadian yang memundurkan pendidikan ke jurang nirkonsep. Maka ia menjadi kaki tangan sebuah kekuasaan tiranik, dan hegemonik di kemudian hari. Ia, diakui maupun tidak, akan pula menjadi konsep berpikir bermasyarakat, dan berbangsa yang tak bertaring. Kendatipun kemudian memiliki taring, ia mempunyainya karena ditaringi oleh penguasa. Secara tidak langsung, taring dalam pendidikan tersebut adalah pengejewantahan dari sebuah kekuasaan yang sedang hidup, bergerak, dan angkuh dengan segala kemampuannya.

Akhirnya pula, kerumitan pendidikan kian menggila. Kerumitan tersebut secara terus menerus membumbung tinggi, sedikit demi sedikit menjadi bukit, dan lalu menghilangkan nilai-nilai adiluhung. Niscayanya adalah pendidikan terpojok pada sudut-sudut ruang yang sempit, pengab, dan tipis angin. Pendidikan sebagai proses perjuangan sosial menjadi isapan jempol belaka. Setuju maupun tidak, publik harus mengiyakan, dan mengamini itu karena hal semacam itu adalah realitas yang sekarang sedang membumi. Pendidikan telah diinjeksi dengan pelbagai kepentingan luar tertentu yang tidak baik, dan sehat. Pendidikan coba direkayasa dengan sedemikian rupa untuk memihak pada mereka, dan golongan yang berkepentingan, bermodal dalam hal tertentu, dan sedang tidak puas dengan keadaan yang sedang diterimanya itu lantaran pendidikan hadir untuk kebersamaan, kekompakan dalam menata masa depan bersama yang indah, menawan, dan damai. Artinya, pendidikan tidak harus sedemikian, namun ia harus diadakan, dan digerakkan pada pemberangusan nilai-nilai adiluhung agar rakyat, dan bangsa ini sakit, kesakitan, dan kian merana dalam ketertindasan baik fisik maupun psikis. Pembusukan nilai-nilai pendidikan adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, namun perlu dikerjakan dengan sedini mungkin agar bangsa, dan masyarakat Indonesia terbaring dengan segala kepedihan hidup. Bangsa, dan masyarakat ini tak mampu beranjak dari ranjang kehidupan yang sarat dengan kehancuran, kehinaan, kenistaan, dan kehambaran makna hidup.

Filosofi Pendidikan yang Morat Marit
Carut marut pemaknaan pendidikan kian hari semakin kentara. Realitas sejarah mencatat bahwa elit lapis atas sudah coba dengan sangat berani, dan nekat memahami pendidikan secara porak-poranda. Mereka dengan sangat mudahnya seperti membalikkan telapak tangan menegaskan bahwa pendidikan adalah media mencari kerja, sebagai jembatan mencari kekuasaan, jenjang menata karir, dan ranah berproses dalam rangka menjadikan dirinya sebagai manusia anti-kemanusiaan baik itu disadari maupun tidak. Bayangkan saja, itu bersangkut paut dengan output pendidikan yang ujung-ujungnya adalah bagaimana mereka dapat mencukupi dirinya dengan segala kemewahan berbasis materi, mengutip paradigma marxisme. Materi adalah sebuah akhir abadi pasca memeroleh, dan menguasai pendidikan. Tidak ada lagi selain dari itu. Ironisnya lagi, ini kemudian dilanjut-langkahkan pada sebuah pertarungan untuk mengalahkan kelas-kelas sosial yang ada di sekitar.

Oleh karenanya, seolah bila mengamati sedemikian ini, pendidikan lalu hanya dihadirkan guna merobohkan segala pilar sosial yang sudah terbangun sebelumnya, yang juga mendukung atas adanya yang lain. Padahal adanya kehidupan dengan segala warna warninya itu diharapkan, orang miskin melengkapi yang kaya agar bisa terbantu secara sosial sehingga kekayaan yang dimiliki si kaya itu tidak dimonopoli secara absolut namun dipersembahkan untuk semua, dan mereka bisa berbuat demi kepentingan masyarakat, akhirnya yang kaya pun merasa bertanggung jawab atas lingkungan yang sedang dihadapinya itu. Dalam konteks sedemikian, ada sebuah rasa memiliki yang, sadar maupun tidak, tercipta di lubuk hati, dan pikiran yang kaya guna bertindak demi kepentingan bersama, agar terjadi perubahan sosial yang lebih berkembang serta maju di hari esok.

Yang pasti, ketika filosofi pendidikan yang digelora-realitaskan kemudian bukan sedemikian yang terjadi, sebaliknya adalah jiwa pendidikan yang tidak bersahabat, dan berkawan dengan alam sekitar. Pendidikan sangat mengejar ruang-ruang kekuasaan hampa makna kemanusiaan, dan ini meluncur pada jejaring kehidupan yang berlumurkan dengan noda-noda keriuhan hidup tanpa kedamaian, dan perdamaian. Jangan harap, akan ada kebaikan, dan perbaikan kehidupan di hari depan. Justru, dengan filosofi pendikan yang kocar kacir itu, membelot pada sebuah jalan gaduh dengan seribu masalah, maka ini semakin tidak akan mampu menentukan arah perjuangan pendidikan yang jelas untuk masyarakat, dan bangsa Indonesia. Akhirnya, bangsa, dan masyarakat Indonesia kian bungkam dengan pemahaman pendidikan yang tidak pasti kejelasannya. Bangsa, dan masyarakat Indonesia semakin terpuruk pada jurang tanpa akhir, yang secara sewenang-wenang mereka terhanyut pada arus mematikan.

Pertanyaannya adalah akan dikemanakan pendidikan dengan konsep filosofi yang morat marit itu? Tatkala elit lapis atas dengan sangat hebohnya mengilustrasikan bahwa memahami pendidikan di konteks kekinian adalah dimampukan berbasis kekuasaan, dan materi. Ketika pendidikan diujung-akhirkan pada kerangka berpikir positivistik, mengutip paradigma positivisme. Publik dengan segala warna-waninya akan sepakat berkata, pendidikan akan mengalami kemunduran amat sangat, tak akan bisa melawan arus kebiadaban materialisme dengan segala anak pinaknya. Pendidikan akan termangsa oleh paham tersebut sehingga pendidikan akan menjuruskan diri, dan terjerumus pada sebuah hasil pemahaman yang sangat sempit, kerdil, dan picik. Pendidikan terjerembab pada sebuah kenikmatan milik segelintir orang yang, kebetulan maupun tidak, asyik masyuk dengan kekuasaan yang telah diraihnya, mengutip pendapat Benny Susetyo. Sehingga ini kemudian menggadaikan nilai-nilai pendidikan adiluhung sebagai mesin pembebasan manusia dari telingkungan kehancuran antah berantah baik itu yang berwajah kapitalisme maupun yang lain.

Diakui maupun tidak, keniscayaan ini adalah sebuah kekhawatiran yang semakin jelas di depan mata lantaran tingkah, pola elit lapis atas yang mengambil kebijakan sudah sangat rakus dengan kekuasaan yang perlu digenggam dengan sangat eratnya. Mereka dengan posisi kekuasaan tersebut berdalih, mumpung ada kekuasaan di tangannya, maka pendayaupayaan dengan sangat maksimal dan optimal atas kekuasaan tersebut demi kepentingan golongan, dan pribadi harus digerakkan dengan sedemikian tangkas, gesit, dan cepat. Jangan lemah, lengah, dan terlalu terlena dengan kekuasaan itu. Harus bergerak terus ke depan demi menyongsong tata kehidupan golongan, dan pribadi yang aduhai, dan terang benderang. Tidak perlu, dan penting melirik serta membuka mata lebar-lebar dengan segala kemiskinan sosial di hadapan, dan di sekitar karena ini akan menghambat sebuah perjalanan, dan pengerjaan kepentingan tertentu, sebuah milik golongan, dan pribadi. Justru, menutup mata, dan telinga dengan rapat-rapat adalah hal terbaik, dan paling tepat.

Jujur pula, pemaknaan pendidikan filosofis yang cenderung bias akan kian menenggelamkan sebuah harapan besar untuk menjadi bangsa, dan masyarakat yang cerdas. Filosofi pendidikan sedemikian itu kian membutakan mata nurani untuk mengenal yang baik dan buruk, salah dan benar sehingga ini kemudian tidak membuka ruang-ruang kesadaran untuk bersama mengukir kehidupan yang mendidik, namun membodohkan. Diakui maupun tidak, ini adalah sebuah kemestian yang pasti disandarkan pada keadaan kekinian karena sudah sangat jelas pemaknaan pendidikan sangat menyimpang dari tujuan-tujuan awalnya sebagai pemerdekaan manusia. Sederhananya, pendidikan sudah membudakkan manusia pada nilai-nilai yang tidak memanusiakan manusia, justru kian menelingkung mereka untuk semakin berada dalam jejaring hidup berbalutkan dosa-dosa sosial, seperti menindas, melemahkan, dan mengelabui.

Alhasil, ketika filosofi pendidikan morat marit tersebut sudah menelingkung seluruh lini kehidupan, maka bangsa ini sudah tamat dengan sendirinya. Ia tak akan mampu bangkit dari sebuah belenggu kesusahan yang sedang membelitnya itu. Mau keluar, dan melepaskan diri dari belenggu tersebut ibarat seseorang yang sudah diikat dengan tali temali sangat kuat. Sehingga bangsa Indonesia tak berdaya dengan segala kelemahannya itu. Dalam pengertian lain, filosofi pendidikan morat marit tersebut merupakan asal muasal yang kemudian melahirkan satu tatanan kependidikan yang menyeret bangsa ini ke jalan yang sangat amburadul. Bangunan konsep pendidikan sedemikian itu akhirnya menyebabkan sebuah kehancuran pendidikan itu sendiri secara konsep filosofisnya, ini kemudian pula tidak membawa nilai-nilai pembebasan yang liberatif.

Ada sebuah kekhawatiran, dan ketakutan sangat ekstrim, hal sedemikian, dengan sangat seyakinnya, akan merusak suasana, dan keadaan yang sudah hancur baik di dalam dunia pendidikan itu sendiri, termasuk masa depan bangsa Indonesia ke depan. Ini sekaligus merupakan bahaya laten yang cukup krusial karena ini, disadari maupun tidak, bisa menambah sebuah permasalahan baru yang lebih runcing. Pertimbangannya adalah tatkala pendidikan sudah carut marut secara konsep, bangsa kita sedang sakit, dan lantas ini disambung dengan filosofi pendidikan yang morat marit, maka ini akan kian serta semakin memperkeruh suasana yang kemudian menghendaki untuk mengharapkan banyak hal yang baik demi kemajuan bangsa Indonesia menjadi utopia belaka. Kita hanya bisa mengisap jempol sembari melihat kondisi bangsa dengan segala kerusakan di segala garis nasibnya. Keniscayaan ini, disadari maupun tidak, akan mempengaruhi banyak lain.

Dengan filosofi pendidikan morat marit tersebut, kita tak akan bisa memahami sebuah makna pendidikan yang lebih terbuka, jujur, polos, mendidik, membuka kesadaran-kesadaran baru yang reformatif dan revolusioner, dan menciptakan satu paradigma hidup yang lebih mengedepankan sebuah perjuangan melawan penindasan. Bahkan, kita akan buta dengan segala kesejatian pendidikan yang sebetulnya. Pendidikan adalah membebaskan, dan memerdekakan manusia dari soal-soal dehumanitas hilang menuju roda pemikiran manusia rasional, dan sehat. Akhirnya, pendidikan merupakan sebuah prores pergerakan menuju kemanusiaan yang sipil pun tercecer di gerbong belakang kereta. Nilai-nilai kemanusiaan sipil dalam bangunan kehidupan beraraskan dengan segala bentuk pencerahan pun turut pudar, dan redup.

Alih-alih mengatakan, ketika image pendidikan tidak demikian, justru diketengahkan dengan semua kerusakan entah konsep maupun praksisnya, maka ini jangan harap akan menimbulkan semangat keseriusan untuk membetulkan yang salah, membenahi yang kurang betul, dan memperkuat arah pendidikan ke depan secara gerakan praksisnya. Karena diakui maupun tidak malah hanya akan meninggalkan sisa-sisa hidup yang kotor, nista, dan hina bagi kehidupan pendidikan, maupun bangsa Indonesia ke depan.

Oleh sebab itu, sikap dengan berpikir terbuka, dan mau menerima segala masukan perlu dibentuk secara praksis agar menata, meluruskan, dan memperbaiki yang rumit menjadi tidak rumit dapat diimplementasi dengan sedemikian tepatnya. Sudah berkali-kali, ini sering terjadi terkait adanya kesiapan membangun bangsa yang baik, namun pelakunya sendiri belum, dan tidak baik. Dan pekerjaan ini sangat mustahil akan menuju puncak, mengutip slogan Akademi Fantasi Indosiar (AFI).

Persoalan pendidikan sedemikian itu akan mampu dicairkan dengan sangat mudahnya tatkala konsep berpikir bangsa ini sangat terarah, terbentuk dengan sangat mapan, dan kuat. Tak hanya itu saja, kerumitan pendidikan akan bisa dikubur dalam-dalam ketika ada kesiapan mental untuk menerima segala bentuk kekuatan dari luar yang terbuka, dan membangun. Kekuatan tersebut adalah jiwa besar dengan semangat tinggi untuk merubah satu struktur yang dinamis, dan inovatif. Tidak menyerah pada satu kondisi realitas yang membungkam keadaan masyarakat, tidak ada ketakutan diri untuk bertindak demi rakyat dan kebersamaan namun secara terus menerus bergerak maju, melangkah dengan segala kekuatan jiwa yang dimilikinya, dan akhirnya mampu meraih cita-cita akhir. Kekuatan tersebut ibarat bara api yang akan membakar jiwa manusia dan rakyat Indonesia untuk berani bertempur dalam memperjuangkan sebuah harapan ideal, yakni masyarakat tercerahkan (the enlightened society).

Daftar Pustaka
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta: Gagas Media
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana
Tillaar, HAR. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang: IndonesiaTera
Palmer, Joy A (Ed.) 2003. 50 Pemikir Pendidikan diterjemahkan Farid Assifa. Yogyakarta: Jendela
Freire, Paulo. 2003. Pendidikan Masyarakat Kota diterjemahkan Agung Prihantoro: Yogyakarta: LKiS
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Asokadikta Durat Bahagia
Irawan, Ade dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah. Jakarta Selatan: Indonesian Corruption Watch (ICW)
Assegaf, Abd Rahman. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Tiara Wacana
Suwito. 2004. Filsafat Pendidikan Ahlak. Yogyakarta: Belukar
Susetyo, Benny. 2005. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta: LKiS
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikutural. Yogyakarta: Pilar Media
UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005. Bandung: Citra Umbara
Supriyoko dkk. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahima

1. Rek. BCA Cab. Sumenep 1930265680 a.n Moh. Yamin/ Hp: 08123283995

 Back To Daftar Isi

 

KOLOM

Pendidikan, Kemiskinan, dan Pengangguran

Oleh Mudda’i, S.Pd.I*

Ada sebuah cerita kitab suci. Tuan dan hamba, Tuhan dan manusia, berkisah tentang jalan hidup mulia: pendidikan. Sang hamba mengucap, “saya dikirim Tuhan ke jagat semesta hanya dengan satu dalih : mengajarkan oase kebenaran, kebaikan dan keindahan eksistensial kepada sesama”. Suatu trilogi ajaran dasar, tuntunan pokok, yang lumayan cocok untuk didesain menjadi sebuah model kurikulum sekolah kehidupan. Ajaran ini tak ada pretensi apa-apa. Ia Cuma memberi rumus : bagaimana cara hidup mulia di-dalam-dunia.
Tapi toh jalan hidup manusia tak selamanya bisa segaris dengan tuntunan, dengan patokan. Terkadang tepat, terkadang meleset. Itu tergantung pada self-consciousness manusia. Seberapa jauh ia punya kesadaran, punya komitmen. Nah, itulah soalnya. Manusia kadang-kadang lengah dan lupa diri. Bahkan, ia sering kali jatuh tergoda sekakigus terjebak oleh interest dan hasrat diri untuk menjadi lebih…secara sosial. Sebuah tendensi yang wajar. Maka, tak heran jika manusia acap kali mengalami semacam ambivalensi suasana hati : harap-harap semas. Terutama di hadapan putaran sejarah ke-menjadi-annya.
Semacam menjadi diri sendiri, yang tanpa kenal lelah, menenggelamkan diri dalam sebuah perjalanan mencari jati diri. Perjalanan itu ditempuhnya dengan bekal satu tanya pokok: siapakah aku. Aku adalah sejenis makhluk, sejenis binatang, yang selalu menjadi sekaligus membelum : utuh. Keutuhan-ku adalah jati diri-ku. Jati diri-ku selalu muncul-tenggelam seirama dengan pasang-surutnya keutuhan-ku. Keutuhan yang naik-turun menimbulkan gelombang : kehidupan yang penuh onak. Dan gelombang kehidupan itu bisa berubah menjadi tenang manakala akal-budi dan hati-nurani manusia yang berlayar di atasnya sanggup mengendalikan laju kapal-kapal kepentingannya. Tahukah, insan-insan pelayar kehidupan, bahwa dengan pancaran sinar akal-budi peradaban dapat tercipta, dengan sorotan cahaya hati-nurani peradaban yang beradab bisa terbentuk.
Peradaban manusia yang beradab, tentu, tidak serta-merta lahir. Bahkan, ia tak bisa disulap dengan kunfayakun sekalipun. Tapi ia muncul dalam sebuah proses sejarah yang panjang dan abadi. Dan proses itu bernama pendidikan. John Dewey menyebutnya : long-life education, pendidikan seumur hidup. Sebuah pendidikan yang mengemban tugas mengetuk-ngetuk kesadaran manusia jaga. Kesadaran tumbuh berbarengan dengan diasah dan ditajamkannya akal-budi dan hati-nurani.
Akal-budi yang terasah menjadikan daya pikir manusia kuat, jernih dan logis. Hati-nurani yang tajam membuat perasaan manusia peka : mencium persoalan lingkungan sekitar. Termasuk juga ketika lingkungan budaya pendidikan itu sendiri jadi soal. Kepakaan menangkap-tanggap permasalahan dan kejernihan memikir-uraikannya merupakan investasi pembangunan-pendidikan-kemanusiaan-masa depan.
Apresiasi masyarakat masih kuat bahwa pendidikan merupakan jalan satu-satunya menuju “rumah” masa depan. Entah corak bangunan masa depan seperti apa yang terpendam dalam khayalan mereka. Tak semua orang tahu. Tapi satu hal cukup jelas : antara dunia khayal dan alam nyata tak selalu dapat diandaikan sama. Di antara keduanya masih tersimpan misteri, masih terbentang jarak yang cukup jauh. Mungkin sejauh angan melanglang buana ke negeri-negeri jauh : masa depan. Dan jarak itu tak lain dan tak bukan adalah kegagalan : dunia pendidikan mengantarkan impian manusia meraih kemakmuran masa depannya.
Bukti nyata : kemiskinan dan pengangguran (manusia-manusia terdidik) laksana badai datang tak tertolak. Dan masyarakat pun cemas. Bukannya mereka khawatir akan masa depannya yang bakal segera tergadaikan. Tapi mereka cuma tahu : bagaimana sakitnya menanggung beban penderitaan penyakit sosial bernama kemiskinan dan pengangguran itu. Bukankah kemiskinan itu adalah sebuah jalan yang licin menuju jurang kekufuran? Dan bukankah pengangguran itu merupakan cara yang amat gampang menempuh jalan ke arah kemiskinan?
Apa boleh buat. Gelombang kemiskinan dan pengangguran sudah kian dahsyat menghantam, menerjang, stabilitas kehidupan masyarakat jamak. Hak mereka untuk hidup layak, wajar dan wajar, tercabut dari akar kehidupannya yang dasar. Ruang gerak mereka jadi sempit dan kaku. Bendera merah-putih kemerdekaan, juga kebebasan, yang silam pernah berkibar penuh semangat dan gairah di puncak kejayaan perjuangan bangsa, kini ternyata cuma terpasang di tiang-tiang gantungan sebagai lambang : kepura-puraan. Lambang itu mirip puisi Goethe : In a quasi city/Certain quasi gentlemen/Riding quasi horses/Held a quasi tournament. Betapa tidak! Psikologi sosial masyarakat tampak belum sungguh-sungguh merdeka, belum benar-benar bebas dari berbagai kepungan penjajahan. Bukan saja oleh kemiskinan dan pengangguran. Tapi juga oleh ketimpangan dan ketidakadilan sosial, oleh kesenjangan dan ketidakpedulian sosial, oleh kapitalisme dan konsumerisme.
Dulu, pada zaman kolonialisme, penjajahan terjadi di antara : bangsa dengan bangsa, negara dengan negara. Kini yang terjadi bukan cuma bangsa menjajah bangsa, negara menjajah negara. Tapi justru bangsa atau negara itu sendiri rela main jajah diri. Juga individu-individu dan masyarakat pada umumnya. Katakanlah ini namanya suatu “penjajahan diri”. Sebuah penjajahan yang dilakukan oleh dan kepada diri sendiri. Obyek sekaligus subyeknya sama : diri sendiri.
Bukankah bangsa atau negara yang, dengan kekuasaannya, asyik main jilat, main hisap, main korup di atas punggung rakyatnya yang encok, yang juga berkeringat dingin, pada dasarnya, adalah sebuah penjajahan diri? Bukankah seseorang atau masyarakat yang senang berkelahi atau bermusuhan antarsesama anak bangsa juga adalah suatu penjajahan diri? Dan bukankah ini semua terjadi karena akibat dari kekuatan akal-budi dan hati-nurani manusia telah lumpuh? Tentu!
Sungguh, percuma menakar idealisme pendidikan yang muluk-muluk, ini itu, tanpa ada peduli terhadap pentingnya pembangunan akal-budi dan hati-nurani—juga realitas—manusia : sebagai landasan ontologis pendidikan. Apalagi pendidikan itu, seru Mudji Sutrisno, tidak “di(proses)hayati dengan meminum air jeruk kebaikan, oksigen kebenaran dan sinar hangat matahari hidup keindahan”.

* Penulis adalah pemerhati malasah sosial-budaya dan pendidikan, tinggal di Montorna, Pasongsongan.

 

 Back To Daftar Isi

Pendidikan Tidak Kenal Bulu

Oleh. Mohammad Muslim

Memang bukan sesuatu yang mengada-ada, ketika sejak zaman dahulu kala, hanya pendidikan yang diayakini bisa menjadi kekuatan untuk menapaki kemajuan. Menjadikan pendidikan sebagai pengangkis masyarakat dari kegegelapan menuju peradaban baru yang sangat terang, merupakah cara satu-satunya. Tidak ada duanya. Tidak heran kalau muncul asumsi : pendidikan adalah simbol tentang kemajuan dan pencerahan sampai kapanpun.
Membangun pendidikan guna memperkuat bangunan peradaban suatu bangsa, tidak bisa hanya dilakukan dengan komitmen yang setengah-setengah. Pendidikan harus diberikan secara menyeluruh dan merata : ke seluruh masyarakat dimanapun dan dalam kondisi apapun., termasuk kondisi pembenahan pendidikan dalam konteks lokal, di Sumenep, lebih-lebih masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil, karena sudah bukan rahasia umum lagi, biasanya di daerah terpencil, kondisi pendidikannya acapkali mendapatkan perhatian yang setengah-setengah.
Termasuk membangun pendidikan Sumenep dengan sekian potensi alam yang menakjubkan serta potensi pendidikan yang luar biasa. Setidaknya lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh kabupaten Sumenep, baik statusnya negeri ataupun swasta mulai dari tingkat paling bawah sampai tingkat paling atas, mulai dari yang ada di kota sampai yang ada di daerah pelosok yang sangat tidak mungkin terjamah kebijakan serta mulai dari lembaga pendidikan yang tidak diperhatikan sampai ada yang dianakemaskan oleh pemerintah merupakan kekayaan potensi pendidikan yang dimiliki oleh Sumenep, yang sudah harus dipikirkan dengan asumsi yang sama : sama-sama harus dikembangkan, sehingga melahirkan dikotomi dalam pembangunan pendidikan.
Upaya membangun pendidikan tanpa pandang bulu tersebut, merupakan suatu keniscayaan dilakukan di Sumenep, karena dengan cara itu, kemajuan pendidikan Sumenep akan dapat ditentukan. Apalagi, kemajuan pendidikan Sumenep akan menjadi simbol utuh tentang Sumenep yang berperadaban dan berkedaaban, sehingga perlu untuk terus ditingkatkan, terutama pendidikan yang berada di daerah-daerah pelosok pedesaan (marjinal).
Oleh karena itu, ke depan pemerintah harus mampu membaca setiap persoalan pendidikan dengan seksama terutama lembaga-lembaga pendidikan yang jauh dari jangkauan kemajuan. Sehingga semangat UUD 45 bahwa setiap warga Indonesia mendapatkan hak yang sama dalam mengenyam pendidikan dan pemerintah jelas sangat bertanggung jawab atas semua ini.
Pemerintah harus secara kritis dan konsisten membaca persoalan pendidikan terutama pendidikan yang ada di saerah-daerah marjinal (pelosok-pelosok). Anggaran penidikan, harus diarahkan bukan saja membenahi persoalan pendidikan yang sudah maju, dengan menafikan atau menyebelah matakan pendidikan di wilayah marjinal, sehingga tidak akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang tidak adil.
Akibat pola pembenahan kota oriented misalnya, pendidikan kaum marjinal yang jauh dari sentuhan peradaban dan kemajuan harus rela menuai kekecewaan. Pendidikan hanya sebatas apa adanya, tanpa ada perhatian yang serius dan penuh dengan semangat keadilan. Pendidikan yang ada di pedesaan dan notabene tidak diperhatikan dengan baik, akan menjadi bumerang bagi kemajuan Sumenep.
Hal itu terjadi karena satu hal, pemerintah kurang apresiatif dalam membaca persoalan pendidikan khususnya di daerah-daerah yang pedalaman. Padahal, berbicara tentang pendidikan adalah berbicara tentang hak seluruh warga yang harus menjadi fokus kerja pemerintah. Pendidikan setiap jiwa rakyat Sumenep merupakan tanggung jawab murni pemerintah, yang tidak boleh terjadi diskriminasi. Pembangunan pendidikan ke depan, dalam hemat penulis harus difokuskan pada upaya menuntaskan dan meningkatkan pendidikan di tingkat basis masyarakat marjinal, yang pada gilirannya akan melahirkan keseimbangan yang sangat seimbang. Sudah bukan waktunya, di Sumenep terdapat lembaga pendidikan yang memprihatinkan, seperti degung sekolah yang tidak layak ditempati untuk belajar dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, dengan kekayaan yang dimiliki, Sumenep sudah harus mampu menampilkan pembangunan pendidikan yang merata, terutama dalam konteks pembangunan pendidikan yang notabene merupakan sendi paling vital dalam menopang kemajuan Sumenep di masa-masa yang akan datang. Pendidikan masyarakat marjinal harus menjadi agenda mendasar pemerintah Sumenep untuk lima tahun ke depan, dengan satu impian bahwa di Sumenep kondisi pendidikan akan dapat menjadi contoh bagi masyarakat yang lain.

 

 

 Back To Daftar Isi

RESENSI

Mendesain Kualitas Pembelajaran Di Sekolah

Judul Buku : Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan pendidikan
Penulis : Drs. H. Martinis Yamin, M.Pd.
Penerbit : Gaung Persada Press, Jakarta
Cetakan : I, September 2007
Tebal : viii + 216 Halaman
Peresensi : Fathor Rachman Utsman*

Kurang lebih satu tahun berjalan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah diberlakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dengan berlakunya KTSP yang masih berbau piloting project ini, beberapa sekolah telah banyak melakukan inovasi-inovasi yang cukup signifikan untuk menjalankan peraturan tersebut agar terkesan taat aturan dan menyambut baik kebijakan ini.
Diterapkan KTSP sebagai kurikulum baru, tentu saja menuntut institusi sekolah harus mampu mendesain tujuan kurikuler, orientasi pendidikan, dan sistem pembelajaran agar sesuai dengan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah ada dalam Permen Diknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006, sehingga tuntutan untuk mendesain pembelajaran merupakan sesuatu yang niscaya. Sebab, tanpa adanya desain pembelajaran yang sesuai KTSP dapat menambah sederetan kesan bahwa berlakunya KTSP ini hanya sekedar kebijakan simbolik dan tidak operasional-aplikatif.
Dalam aktifitas pengajaran (hubungan interaksional guru-siswa), istilah pembelajaran (instruction) merupakan istilah baru yang tergolong masih muda dibanding istilah-istilah lain seperti learning (belajar), teaching (mengajar/pengajaran), teaching-learning (belajar-mengajar), bahkan teori pembelajaran ini berkembang, dipakai, dan dijadikan mata kuliah tersendiri di beberapa perguruan tinggi pada tahun 90-an.
Tentu saja bagi kalangan guru dan dosen yang tidak mau perduli dengan perkembangan teori belajar, akan menganggap bahwa beberapa teori di atas adalah sama, hanya berbeda istilah saja. Padahal, secara teoritis dan praktisnya perkembangan teori pembelajaran (instruction) tersebut banyak perbedaan yang mesti diperhatikan secara serius oleh guru dan dosen agar proses pendidikan yang dilangsungkan, khususnya proses belajar mengajar di kelas, betul-betul bermakna dan berkualitas.
Dengan KTSP, lembaga sekolah diharuskan mampu menciptakan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya kreatifitas, semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru dan dosen, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur, kini menjadi fasilitator pembelajaran, sehingga melalui KTSP para guru dituntut untuk lebih kreatif dalam membuat sendiri kurikulum agar materi yang diajarkannya bisa diinternalisasikan secara tuntas kepada para siswa.
Kehadiran buku Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan yang ditulis oleh Martinis Yamin ini merupakan sebuah kerangka konseptual-aplikatif yang mencoba menawarkan beberapa bentuk desain pembelajaran agar para guru dan dosen bisa terlepas dari keterjebakan mengembangkan teknik dan metode pembelajaran yang cenderung membingungkan setelah digulirkannya KTSP tersebut.
Keterjebakan para guru dan dosen dalam mengembangkan proses pembelajaran, jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas (quality) dan hasil (output maupun product) dari sebuah proses pendidikan. Sebab, kualitas pendidikan sangat bergantung pada proses belajar-mengajar yang dilangsungkan di kelas. Oleh karena itu, kemampuan guru dan dosen mengembangkan metode dan menjadi desainer pembelajaran adalah taruhannya. Lebih-lebih dalam konteks penerapan KTSP yang menuntut adanya proses pembelajaran agar bisa berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan atau kepentingan peserta didik dan lingkungannya, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, relevan dengan kebutuhan kehidupan, dan lain semacamnya.
Menjadi desainer (perancang) pembelajaran yang bisa berkualitas tentu saja bukan pekerjaan yang mudah bagi para guru dan dosen. Sebab, menurut Jerrold E. Kemp (1985) sebagaimana dikutip Yamin dalam bukunya ini, seorang guru harus mampu dan bisa terlibat dalam membuat perencanaan, pengembangan, penerapan, dan penilai hasil pembelajaran (hal. 14). Di samping itu, mereka juga diharuskan untuk bisa membuat struktur pengajaran, mulai dari standar kompetensi, indikator, materi dan kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu, serta media pembelajaran yang begitu administratif.
Dengan demikian, peran guru dalam desain pembelajaran sangat kompleks, sebab ia harus menjadi perancang pengajaran, pengajar, harus ahli mata pelajaran, sekaligus jadi penilai hasil pembelajarannya. Belum lagi dihadapkan pada standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan dalam KTSP.
Untuk itu, buku ini menguraikan desain pembelajaran yang tentunya sangat besar manfaatnya bagi para guru dan dosen yang ingin merencanakan dan melangsungkan proses penyampaian materi yang akan diajarkan kepada siswa, mulai dari didaktik dan desain sistem instruksional, kegiatan belajar tuntas dan mandiri, metode dan media pembelajaran hingga penilaian pembelajaran yang semuanya diarahkan pada upaya pengimplementasian pembelajaran yang berbasis KTSP.
Desain pembelajaran menurut Yamin merupakan bagian dari strategi instruksional, metode pembelajaran berfungsi sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu dalam proses pendidikan (hal. 145). Tentu saja banyak metode pembelajaran yang harus diterapkan dan dikembangkan oleh guru dan dosen mulai dari metode studi mandiri, pembelajaran terprogram, pemecahan masalah, praktikum, bermain peran, simposium, hingga metode Computer Assisted Learning (CAL), dan lain semacamnya yang diurai secara rinci teori, sejarah dan implementasinya dalam buku ini.
Penerapan beragam desain dan metode pembelajaran di atas sangat bergantung terhadap kreativitas dan profesionalisme guru dan dosen untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setelah melakukan pembacaan secara serius dan mendalam terhadap potensi dan keunggulan sekolah serta lingkungan sekitarnya.
Di sinilah salah satu kelebihan sekaligus kelemahan buku ini, kerena menghadirkan bahasan akan desain dan metode pembelajaran berdasarkan sejarah kemunculan dan aplikasinya dalam institusi pendidikan (sekolah) yang sebenarnya telah lama berkembang dalam dunia pendidikan, tetapi oleh penulisnya mampu dipoles dan didesain untuk disesuaikan dengan kehadiran KTSP.
Latar belakang pendidikan dan profesi penulis buku ini sebagai guru yang sangat concern dalam dunia pendidikan tentu saja menjadi kelebihan lain akan pentingnya kehadiran buku ini, karena teori yang dikembangkan di dalamnya merupakan sebuah perpaduan konseptual antara teori, pengalaman, dan serangkaian administrasi pembelajaran yang digunakan dalam dunia pendidikan nasional.
Dengan demikian, desain pembelajaran yang dikembangkan oleh Yamin dalam buku ini tidak berlebihan jika dikatakan hanyalah sebuah sajian (formula) ulang akan desain dan metode pembelajaran lama yang dicoba untuk diramu dan dikontekstualisasikan dengan kehadiran KTSP, tetapi cukup menarik untuk dijadikan acuan sekaligus rujukan kepustakaan bagi para guru, dosen, dan pengelola pendidikan yang ingin membenahi manajemen dan kualitas pembelajaran di sekolah.
*Fathor Rachman Utsman, adalah alumnus STIK-An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep (2004), dan baru saja menyelesaikan studinya di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tahun 2007. Ia adalah mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Sumenep dan pernah mengajar di MTs 1 dan SMA 1 An-Nuqayah Guluk-Guluk. Beberapa artikel dan resensinya sudah lumayan banyak dipublikasikan di beberapa media lokal dan nasional seperti BERNAS Jogja, SOLOPOS, BALI POST, Media Indonesia, Jawa Pos, Seputar Indonesia (SINDO), Suara Merdeka, Sinar Harapan Jakarta, KOMPAS Jatim, Banjarmasin Post, AULA NU Jatim, dan Surabaya Post.

Berdomisili di:
Tempat Tinggal Asal : Jl. Masjid Al-Ikhlas Dusun Mondung Utara RT 19/RW 05Dasok Pademawu Pamekasan Madura 69381
Tempat Tinggal di Jogja : Jln. Nogopuro No. 2c Dg. III Rt 01/Rw 01 Gowok Caturtunggal Depok Sleman D.I. Yogyakarta 55281
No. HP : 08175060322
No. Rekening : 0089663624 BNI Cab. UGM Yogya, a/n Fathor Rachman

 

 

 Back To Daftar Isi